Malam ini aku hanya
termenung di depan komputer temanku. Tak seperti biasanya. Biasanya aku
datang ke rumah temanku itu hanya untuk menulis. Selalu berjalan
biasa, aku selalu menulis. Menulis cerpen, terkadang. Merangkai kata
menjadi puisi, ini yang sering. Tak lebih. Tapi, kali ini aku tak bisa.
Imajinasiku seakan tumpul. Otakku tak mengalir deras seperti biasanya.
Dan aku hanya termenung. Iya! Begitu saja. Tak lebih. Juga tak kurang.
Aku pun tak mau pusing. Aku mengikuti khayalan buntuku. Kalau memang tak ad ide tak apaapa. Menurutku tak harus marah pada diri yang memang mungkin sedang ingin istirahat. Sedang tak ingin diganggu oleh siapapun. Termasuk aku dan keinginanku yang sering kali memforsirnya. Tak mau tahu dengan capeknya. Mengacuhkan waktu istirahatnya tanpa membuatkan jadwal.
“Tet … teet … teeet.” Ada tamu. Aku mengintipnya dulu dari lobang pintu. Ah, tamu itu tak kukenal. Tapi, aku harus membukakan pintu untuknya. Siapa tahu dia punya perlu. Perlu penting atau tidak tak jadi masalah. Karena aku tak berhak mengukur kepentingannya dengan apa yang aku anggap penting. Sekali pun, biasanya, aku sering diperlakukan tak adil oleh orangorang disekitarku. Aku tak dilayani selayaknya tatkala aku datang dengan membawa halhal yang tak penting bagi mereka. Ah, aku bukan mereka. Dan aku tak harus meniru mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan mereka bisa saja menjadi kekuranganku ketika aku memaksakannya berada padaku. Dan toh, ini juga bukan rumahku. Siapa tahu, dia ada perlu sama Radi atau Helmi.
Kubuka pintu rumah temanku itu. Aku memberinya seulas senyum. Entah. Aku selalu begitu kalau bertemu dengan orangorang tanpa terkecuali. Sudah menjadi reflek. Sekali pun aku pernah tahu bahwa agamaku mengajarkan hal itu. Dan terkadang ada sebentuk harap di balik senyumku, aku ingin dia dan siapa pun juga, menjadi bahagia saat bertemu denganku. Dan lagi, aku sering merasakan gundah dan gelisah sedikit menghilang. Ada rasa lega saat senyum itu kulepas. Apakah itu memang kekuatan senyum? Makanya, agama pun menganjurkan. Entahlah.
Tapi, tamu itu tak membalas senyumku. Apakah dia tak senang menikmati senyumku? Ah, biarlah. Tak usah kupikir tentang dia yang senang atau tidak dengan senyumku. Bukankah itu hak dia untuk tidak senang dan senang menerima pemberian siapapun. Apalagi tatkala dia sedang tak membutuhkannya. Dia malah menatapku lekatlekat setelah mengucapkan salam. Aku jadi salah tingkah dibuatnya. Juga jadi sebab penasaran merundungku.
“Silahkan masuk.” Aku pecah kesunyian anatara aku dan tamu itu. Aku ingin mengalihkan tatapannya yang sangat berani itu. Aku merasa aneh. Dia tak merasa kikuk atau kaget. Dia malah melenggang masuk. Itu saja. Dan duduk. Aku pun duduk menghadapinya karena cuma aku di rumah itu. Yang lain sedang keluar. Entah kemana. Tadi, saat aku datang, Radi hanya bilang mau keluar tanpa memberi penjelasan. Dan aku tak tanya lebih lanjut karena dia memang selalu begitu.
“Maaf. Aku mungkin udah ngebuat kamu bingung.” Tamu itu membuka mulut dengan matanya yang terus lekat seakan terpikat dan terikat oleh pandanganku yang biasabiasa saja menututku.
“Owh … nggak apaapa, Mas.” Aku mencoba untuk bersikap maklum agar tak ada perasaan tak enak mendera tamuku itu. Dan aku tak bisa membiarkannya saja. Aku harus bisa bersikap wajar dalam menghadapi tamu. Sekali pun aku sekarang sebenarnya sedang suntuk karena otakku tak mau diajak menulis.
“Ingin bertemu siapa, Mas?” Tanyaku sebagai basabasi dalam kikukku meladeni pandangan matanya yang tak mau pergi dari mataku.
“Aku memang sengaja datang ke rumah ini karena aku tak mengenal penghuninya. Tapi, ini jangan dibahas dulu. Aku masih ingin menjelaskan sikapku tadi yang telah membuatmu sedikit gelisah dan mungkin kamu dirundung oleh tanya yang berdatangan disebabkan ulahku. Pertama, aku tak ngebalas senyummu. Dan kedua, aku telah membuat kamu salah tingkah dengan pandangan mataku yang seakan menghakimimu. Untuk yang pertama, aku memang sedang nggak bisa senyum. Aku sedang dirundung pilu. Pilu itu begitu sakit kurasa sehingga menghalangi senyumku untuk senyummu. Juga untukmu. Karena biasanya saya tersenyum tanpa menunggu orang lain melempar senyumnya.
“Dan aku, tadi, kaget saat melihat matamu. Matamu bersinar ketulusan. Juga indah. Enak dipandang. Mungkin kamu sedang kurang melihat halhal yang dilarang agama. Atau kamu sering berwudlu sehingga airnya meninggalkan sinar hakikat cinta. Tapi, entahlah jika kamu tak melakukan semua itu. Itu hanya kata guruku dulu sewaktu saya sekolah di Aliyah. Guru Hadistku itu pernah bilang begitu tanpa menguatkannya dengan argumentasi Hadist atau Quran. Ini apologiku untuk yang kedua. Dan, mungkin, dengan keteranganku ini hatimu mendapat kelegaan.
“Oya, dengan alasan yang pertama itu aku datang kemari. Aku ingin menghilangkan gundah hatiku dengan sekedar bercerita pada orangorang yang tak kukenal. Menurutku, ngobrol dengan orang tak dikenal itu lebih asyik. Karena aku akan bebas lepas tanpa dicengkeram rasa canggung dan malu. Sebenarnya aku tahu untuk menghilangkan rasa gelisah itu dengan mendekatkan diri pada Tuhan. Tapi, aku gagal. Mungkin aku masih belum mencintaNya secara tulus. Dalam mengerjakan perintahNya masih seringkali hanya mengerjakan sebatas menghilangkan kewajiban dengan sepi dari kekhusyukan dan menikmati detikdetik saat bersama denganNya.
“Maaf, dari tadi aku banyak omong.”
“Owh … gak apaapa, Mas.” Jawabku setelah sekian lama hanya bisa melongo dan bengong saja mendengarkan penjelasannya yang panjang lebar. Tak kusangka dan tak kuduga akan bertemu dengan tamu seperti ini. Awalnya bersikap aneh. Sekarang bicara panjang lebar tanpa bisa dihentikan. Dan bicaranya sangat sopan dan teratur. Sungguh hari ini aku sedang menemukan hal yang sangat luar biasa. Itu bagiku. Entah orang lain. Bisa saja sependapat denganku atau tidak.
“Tadi, Mas bilang kalau mataku indah. Eh, kalau boleh tahu namanya siapa, Mas?”
“Maaf. Sekali lagi aku hanya bisa bilang maaf. Karena kedatangan saya kemari hanya untuk menceritakan kegundahan hati pada orang yang tak kukenal, aku tak bisa menyebutkan namaku. Dan kalau kamu memang tak berkenan ngobrol dengan orang seperti aku, aku pun bisa pamit sekarang juga. Dan sekali lagi saya hanya bisa ucapkan maaf telah mengganggu waktumu.”
“Owh … gak apaapa, Mas kalau memang seperti itu adanya. Saya nggak bisa memaksa. Dan saya punya banyak waktu untuk mendengarkan kisah, Mas. Ini jujur. Bukan karena perasaan nggak enak. Karena saya memang tipe orangnya senang mendengarkan curhat temanteman. Dan temantemanku ratarata senang curhat sama aku.”
“Sudah kuduga dan kesimpulanku dari pancaran matamu berarti tak salah dan tak berlebihan. Kamu memang orangnya tulus.”
“Mas ini dari tadi hanya memuji melulu. Sebenarnya mau cerita apa, Mas?”
Dia menengadah ke langit rumah temanku seakan mengingat hal yang membuatnya resah. Aku mengikuti geraknya kemana pun menuju. Dan sekarang aku gagal membuntutinya saat pandangan beratnya jatuh ke mukaku. Dia seperti tadi lagi. Menatap lekatlekat mataku. Dan bibirnya mulai bergerak merajut kata memulai cerita dengan tanpa melepas mataku.
“Aku sedang “sakit jiwa”. Prilakuku tak normal seperti orang biasanya. Aku tak betah di rumah sebagaimana temantemanku. Aku pernah mencoba seharisemalem di rumah dengan mambaca bukubuku kesukaanku. Kamu tahu? Aku menangis saat itu. Jiwaku merintih mengajakku jalanjalan kemana aja. Yang penting jalan. Jadi, kalau saya lagi main ke rumah temen dan pamit mau pulang, dia tanya seperti ini “mo pulang ke rumahnya siapa lagi, Mas?” tanyanya padaku. Karena mereka tahu kalo aku nggak akan pulang ke rumah saya sendiri.
Bibirnya mematung. Dia sedikit menghela nafas. Dan aku masih harus terus melayani tatapan matanya yang begitu lekat menikmati mataku yang indah menurutnya. Yang bercahayakan ketulusan cinta hakikat, juga menurutnya.
“Itulah yang membuat jiwaku resah. Aku jadi bertanyatanya pada diriku sendiri kenapa aku harus seperti ini. Tapi, aku tak menemukan jawabnya. Aku jadi pusing mikirin gimana caranya agar aku bisa ngerubah prilakuku ini. Nama sampyan siapa, Mas?”
“Aku Rudi, Mas.”
“Iya, mas Rudi. Karena aku udah selesai bercerita, aku pamit dulu. Terima kasih karena mas Rudi telah sudi mendengarkan resahku yang, mungkin, nggak bermutu menurutmu.” Dia beranjak dari duduknya. Mengulurkan tangan. Tapi, aku acuhkan dengan menatapnya bingung. Dan dia pun menggapai tanganku. Aku membiarkan dan mengantarkannya sampai ke pintu. Dia mengucapkan salam dan menghilang menembus malam.
Aku masih termangu di pintu rumah temanku.
“Tut … tut … tut.” Sms menyelinap di inbox Hpku. “Rud, aku gak bisa pulng. Malas. Udh malam lg. Km di rumh aja ya.” “Hmm …” Radi ternyata mau nginap. Entah di rumah siapa.
***
Aku kembali ke tempat semula. Depan komputer temanku. Ah, ternyata otakku masih buntu. “Atau aku nulis kisah orang barusan itu. Orang misterius bin aneh. Mau curhat saja harus ke orang yang tak dikenalnya. Untung ketemu sama orang seperti saya. Orang yang sangat mengedepan kepentingan orang lain. Hmm … sombongku kumat lagi”
Kuikuti usul batin barusan. Jemariku mengetik cepat seperti mentari mencakar kulitkulit permukaan bumi dengan panasnya. Atau seperti tusukantusukan kukukuku dingin pada musim dingin yang menembus lapisan bajuku walau tiga “berakhiran” jaket “berbumbu” bulubulu. Entah bulu apa. Dia tak kelihatan. Juga tak sempat tanya waktu dulu membelinya di sebuah toko pasar luak.
Tulisanku mengalir deras. Baru kali ini aku menulis dari kisah nyata. Bagiku, menulis cerpen kisah nyata itu tak kreatif. Letak kreatifitasnya dimana coba? Hanya menyalin. Tapi, aku pernah membaca sebuah buku panduan tentang kepenulisan. Dalam buku itu dipaparkan penulispenulis terkenal sekaligus sebagian kecil tulisannya. Sekali lagi, dalam buku itu aku temukan penulis terkenal bernama … ah, aku lupa. Dan yang aku ingat, bahwa dia sering menulis dari kisah nyata yang dirubah menjadi fiktif. Biasanya yang dia rubah adalah konflik dan setting.
Ya! Biarlah malam ini aku menulis kisah nyata itu. Akan kuikuti cara penulis terkenal yang kulupakan namanya itu.
Kini aku sibuk menghapus tulisan yang baru kutulis itu. Hanya masih dua lembar. Font 12. Dan spasi 1,5. Sebenarnya ada rasa sayang menelikung. Tapi, biarlah. Bukankah itu hanya salinan. Bukan hasil imajinasi yang menyerpih di jalanjalan berdebu. Atau pada angin malam. Atau dalam sepi. Juga dalam gelaktawa keramaian di antara guyonan temanteman.
Aku rubah kisah tamuku yang barusan pulang. Aku menjadikannya fiktif. Terang saja, aku tak benarbenar merubahnya. Hanya menambahkan. Bukankah dia tadi belum menemukan jalan keluarnya? Nah, dalam tulisanku itu, aku ceritakan kalau dia sudah menemukan solusi. Dan dia pun menjadi betah menikmati rumahnya sendiri. Tidak lagi seperti angin yang menyemilir. Bukan lagi air yang terus mengalir mengikuti kelok sungai.
Dia kukisahkan sebagai burung Camar yang terbang tinggi, tapi pasti kembali ke pinggir laut yang membiru. Kembali menikmati hidangan Tuhan yang berserakan di antara pinggiranpinggiran pantai. Camar itu tersenyum. Sesekali menengadah ke hamparan langit luas yang juga membiru seperti hamparan laut. Seakan mengabari langit “Di pantai ini aku mengingatmu. Saat aku bermain denganmu, aku mengenang pantai tempat asalku mendatangimu.”
Si tamu yang sangat senang menatap mataku itu kini menikah. Pernikahan itulah yang telah merubahnya. Seakan mengikat dalam tenang. Karena dia sudah menikmati rumahnya yang berpayung rumah tangga. Dia tak lagi menangis. Malah senyum terukir manis.
Kini, aku sudah selesai menulis cerpenku. Aku termenung di depan komputer temanku itu. Melihat dan mengoreksi hasil tulisanku itu. Sebenarnya aku salah. Karena menurut temanku yang sudah jago menulis, “setelah kau selesai menulis, simpan dulu. Harus diinkubasi. Jangan langsung diedit.” Katanya yang kuikuti dengan anggukan kepalaku yang seakan patuh.
Biasanya aku memang patuh. Tapi, tidak untuk sekarang. Maafkan aku, teman. Sekarang aku sangat butuh uang. Aku akan segera mengirimkan ke media cetak. Dan itu tak butuh waktu untuk menunggu lagi. Karena aku benarbenar butuh uang.
Kulanjutkan editanku. Kubenahi tanda baca yang salah di sanasini. Kadang aku memicingkan mataku. Kadang aku tersenyum menikmati katakataku yang kurasa lucu. “Ah, tulisanku. Semoga kau diterima oleh media cetak. Dan kalau itu terjadi, berarti Tuhan telah mengirimmu menjadi penolongku. Penolong dompetku yang lagi sakit kanker, kantong kering kata temanku.” Batinku berbisik. Mengingat Tuhan dengan semangat menggebu saat menerima kurnianya.
Dan malam ini aku bisa menulis walau sebenarnya otakku sedang buntu. Aku bisa menulis karena tamu misterius itu. Yang jelas ini juga adalah anugerah Tuhan. Salah satu caranya untuk menolongku. Unutk memberi rezeki padaku. “Ah, Tuhanku selalu banyak cara. Ah, Tuhanku selalu hadir pada hambaNya yang mau berusaha. Oh, Tuhan, terima kasih. Semoga aku selalu bersyukur saat menerima rizkimu. Dan sabar dalam cobaMu. Amin.”
Aku pun tak mau pusing. Aku mengikuti khayalan buntuku. Kalau memang tak ad ide tak apaapa. Menurutku tak harus marah pada diri yang memang mungkin sedang ingin istirahat. Sedang tak ingin diganggu oleh siapapun. Termasuk aku dan keinginanku yang sering kali memforsirnya. Tak mau tahu dengan capeknya. Mengacuhkan waktu istirahatnya tanpa membuatkan jadwal.
“Tet … teet … teeet.” Ada tamu. Aku mengintipnya dulu dari lobang pintu. Ah, tamu itu tak kukenal. Tapi, aku harus membukakan pintu untuknya. Siapa tahu dia punya perlu. Perlu penting atau tidak tak jadi masalah. Karena aku tak berhak mengukur kepentingannya dengan apa yang aku anggap penting. Sekali pun, biasanya, aku sering diperlakukan tak adil oleh orangorang disekitarku. Aku tak dilayani selayaknya tatkala aku datang dengan membawa halhal yang tak penting bagi mereka. Ah, aku bukan mereka. Dan aku tak harus meniru mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan mereka bisa saja menjadi kekuranganku ketika aku memaksakannya berada padaku. Dan toh, ini juga bukan rumahku. Siapa tahu, dia ada perlu sama Radi atau Helmi.
Kubuka pintu rumah temanku itu. Aku memberinya seulas senyum. Entah. Aku selalu begitu kalau bertemu dengan orangorang tanpa terkecuali. Sudah menjadi reflek. Sekali pun aku pernah tahu bahwa agamaku mengajarkan hal itu. Dan terkadang ada sebentuk harap di balik senyumku, aku ingin dia dan siapa pun juga, menjadi bahagia saat bertemu denganku. Dan lagi, aku sering merasakan gundah dan gelisah sedikit menghilang. Ada rasa lega saat senyum itu kulepas. Apakah itu memang kekuatan senyum? Makanya, agama pun menganjurkan. Entahlah.
Tapi, tamu itu tak membalas senyumku. Apakah dia tak senang menikmati senyumku? Ah, biarlah. Tak usah kupikir tentang dia yang senang atau tidak dengan senyumku. Bukankah itu hak dia untuk tidak senang dan senang menerima pemberian siapapun. Apalagi tatkala dia sedang tak membutuhkannya. Dia malah menatapku lekatlekat setelah mengucapkan salam. Aku jadi salah tingkah dibuatnya. Juga jadi sebab penasaran merundungku.
“Silahkan masuk.” Aku pecah kesunyian anatara aku dan tamu itu. Aku ingin mengalihkan tatapannya yang sangat berani itu. Aku merasa aneh. Dia tak merasa kikuk atau kaget. Dia malah melenggang masuk. Itu saja. Dan duduk. Aku pun duduk menghadapinya karena cuma aku di rumah itu. Yang lain sedang keluar. Entah kemana. Tadi, saat aku datang, Radi hanya bilang mau keluar tanpa memberi penjelasan. Dan aku tak tanya lebih lanjut karena dia memang selalu begitu.
“Maaf. Aku mungkin udah ngebuat kamu bingung.” Tamu itu membuka mulut dengan matanya yang terus lekat seakan terpikat dan terikat oleh pandanganku yang biasabiasa saja menututku.
“Owh … nggak apaapa, Mas.” Aku mencoba untuk bersikap maklum agar tak ada perasaan tak enak mendera tamuku itu. Dan aku tak bisa membiarkannya saja. Aku harus bisa bersikap wajar dalam menghadapi tamu. Sekali pun aku sekarang sebenarnya sedang suntuk karena otakku tak mau diajak menulis.
“Ingin bertemu siapa, Mas?” Tanyaku sebagai basabasi dalam kikukku meladeni pandangan matanya yang tak mau pergi dari mataku.
“Aku memang sengaja datang ke rumah ini karena aku tak mengenal penghuninya. Tapi, ini jangan dibahas dulu. Aku masih ingin menjelaskan sikapku tadi yang telah membuatmu sedikit gelisah dan mungkin kamu dirundung oleh tanya yang berdatangan disebabkan ulahku. Pertama, aku tak ngebalas senyummu. Dan kedua, aku telah membuat kamu salah tingkah dengan pandangan mataku yang seakan menghakimimu. Untuk yang pertama, aku memang sedang nggak bisa senyum. Aku sedang dirundung pilu. Pilu itu begitu sakit kurasa sehingga menghalangi senyumku untuk senyummu. Juga untukmu. Karena biasanya saya tersenyum tanpa menunggu orang lain melempar senyumnya.
“Dan aku, tadi, kaget saat melihat matamu. Matamu bersinar ketulusan. Juga indah. Enak dipandang. Mungkin kamu sedang kurang melihat halhal yang dilarang agama. Atau kamu sering berwudlu sehingga airnya meninggalkan sinar hakikat cinta. Tapi, entahlah jika kamu tak melakukan semua itu. Itu hanya kata guruku dulu sewaktu saya sekolah di Aliyah. Guru Hadistku itu pernah bilang begitu tanpa menguatkannya dengan argumentasi Hadist atau Quran. Ini apologiku untuk yang kedua. Dan, mungkin, dengan keteranganku ini hatimu mendapat kelegaan.
“Oya, dengan alasan yang pertama itu aku datang kemari. Aku ingin menghilangkan gundah hatiku dengan sekedar bercerita pada orangorang yang tak kukenal. Menurutku, ngobrol dengan orang tak dikenal itu lebih asyik. Karena aku akan bebas lepas tanpa dicengkeram rasa canggung dan malu. Sebenarnya aku tahu untuk menghilangkan rasa gelisah itu dengan mendekatkan diri pada Tuhan. Tapi, aku gagal. Mungkin aku masih belum mencintaNya secara tulus. Dalam mengerjakan perintahNya masih seringkali hanya mengerjakan sebatas menghilangkan kewajiban dengan sepi dari kekhusyukan dan menikmati detikdetik saat bersama denganNya.
“Maaf, dari tadi aku banyak omong.”
“Owh … gak apaapa, Mas.” Jawabku setelah sekian lama hanya bisa melongo dan bengong saja mendengarkan penjelasannya yang panjang lebar. Tak kusangka dan tak kuduga akan bertemu dengan tamu seperti ini. Awalnya bersikap aneh. Sekarang bicara panjang lebar tanpa bisa dihentikan. Dan bicaranya sangat sopan dan teratur. Sungguh hari ini aku sedang menemukan hal yang sangat luar biasa. Itu bagiku. Entah orang lain. Bisa saja sependapat denganku atau tidak.
“Tadi, Mas bilang kalau mataku indah. Eh, kalau boleh tahu namanya siapa, Mas?”
“Maaf. Sekali lagi aku hanya bisa bilang maaf. Karena kedatangan saya kemari hanya untuk menceritakan kegundahan hati pada orang yang tak kukenal, aku tak bisa menyebutkan namaku. Dan kalau kamu memang tak berkenan ngobrol dengan orang seperti aku, aku pun bisa pamit sekarang juga. Dan sekali lagi saya hanya bisa ucapkan maaf telah mengganggu waktumu.”
“Owh … gak apaapa, Mas kalau memang seperti itu adanya. Saya nggak bisa memaksa. Dan saya punya banyak waktu untuk mendengarkan kisah, Mas. Ini jujur. Bukan karena perasaan nggak enak. Karena saya memang tipe orangnya senang mendengarkan curhat temanteman. Dan temantemanku ratarata senang curhat sama aku.”
“Sudah kuduga dan kesimpulanku dari pancaran matamu berarti tak salah dan tak berlebihan. Kamu memang orangnya tulus.”
“Mas ini dari tadi hanya memuji melulu. Sebenarnya mau cerita apa, Mas?”
Dia menengadah ke langit rumah temanku seakan mengingat hal yang membuatnya resah. Aku mengikuti geraknya kemana pun menuju. Dan sekarang aku gagal membuntutinya saat pandangan beratnya jatuh ke mukaku. Dia seperti tadi lagi. Menatap lekatlekat mataku. Dan bibirnya mulai bergerak merajut kata memulai cerita dengan tanpa melepas mataku.
“Aku sedang “sakit jiwa”. Prilakuku tak normal seperti orang biasanya. Aku tak betah di rumah sebagaimana temantemanku. Aku pernah mencoba seharisemalem di rumah dengan mambaca bukubuku kesukaanku. Kamu tahu? Aku menangis saat itu. Jiwaku merintih mengajakku jalanjalan kemana aja. Yang penting jalan. Jadi, kalau saya lagi main ke rumah temen dan pamit mau pulang, dia tanya seperti ini “mo pulang ke rumahnya siapa lagi, Mas?” tanyanya padaku. Karena mereka tahu kalo aku nggak akan pulang ke rumah saya sendiri.
Bibirnya mematung. Dia sedikit menghela nafas. Dan aku masih harus terus melayani tatapan matanya yang begitu lekat menikmati mataku yang indah menurutnya. Yang bercahayakan ketulusan cinta hakikat, juga menurutnya.
“Itulah yang membuat jiwaku resah. Aku jadi bertanyatanya pada diriku sendiri kenapa aku harus seperti ini. Tapi, aku tak menemukan jawabnya. Aku jadi pusing mikirin gimana caranya agar aku bisa ngerubah prilakuku ini. Nama sampyan siapa, Mas?”
“Aku Rudi, Mas.”
“Iya, mas Rudi. Karena aku udah selesai bercerita, aku pamit dulu. Terima kasih karena mas Rudi telah sudi mendengarkan resahku yang, mungkin, nggak bermutu menurutmu.” Dia beranjak dari duduknya. Mengulurkan tangan. Tapi, aku acuhkan dengan menatapnya bingung. Dan dia pun menggapai tanganku. Aku membiarkan dan mengantarkannya sampai ke pintu. Dia mengucapkan salam dan menghilang menembus malam.
Aku masih termangu di pintu rumah temanku.
“Tut … tut … tut.” Sms menyelinap di inbox Hpku. “Rud, aku gak bisa pulng. Malas. Udh malam lg. Km di rumh aja ya.” “Hmm …” Radi ternyata mau nginap. Entah di rumah siapa.
***
Aku kembali ke tempat semula. Depan komputer temanku. Ah, ternyata otakku masih buntu. “Atau aku nulis kisah orang barusan itu. Orang misterius bin aneh. Mau curhat saja harus ke orang yang tak dikenalnya. Untung ketemu sama orang seperti saya. Orang yang sangat mengedepan kepentingan orang lain. Hmm … sombongku kumat lagi”
Kuikuti usul batin barusan. Jemariku mengetik cepat seperti mentari mencakar kulitkulit permukaan bumi dengan panasnya. Atau seperti tusukantusukan kukukuku dingin pada musim dingin yang menembus lapisan bajuku walau tiga “berakhiran” jaket “berbumbu” bulubulu. Entah bulu apa. Dia tak kelihatan. Juga tak sempat tanya waktu dulu membelinya di sebuah toko pasar luak.
Tulisanku mengalir deras. Baru kali ini aku menulis dari kisah nyata. Bagiku, menulis cerpen kisah nyata itu tak kreatif. Letak kreatifitasnya dimana coba? Hanya menyalin. Tapi, aku pernah membaca sebuah buku panduan tentang kepenulisan. Dalam buku itu dipaparkan penulispenulis terkenal sekaligus sebagian kecil tulisannya. Sekali lagi, dalam buku itu aku temukan penulis terkenal bernama … ah, aku lupa. Dan yang aku ingat, bahwa dia sering menulis dari kisah nyata yang dirubah menjadi fiktif. Biasanya yang dia rubah adalah konflik dan setting.
Ya! Biarlah malam ini aku menulis kisah nyata itu. Akan kuikuti cara penulis terkenal yang kulupakan namanya itu.
Kini aku sibuk menghapus tulisan yang baru kutulis itu. Hanya masih dua lembar. Font 12. Dan spasi 1,5. Sebenarnya ada rasa sayang menelikung. Tapi, biarlah. Bukankah itu hanya salinan. Bukan hasil imajinasi yang menyerpih di jalanjalan berdebu. Atau pada angin malam. Atau dalam sepi. Juga dalam gelaktawa keramaian di antara guyonan temanteman.
Aku rubah kisah tamuku yang barusan pulang. Aku menjadikannya fiktif. Terang saja, aku tak benarbenar merubahnya. Hanya menambahkan. Bukankah dia tadi belum menemukan jalan keluarnya? Nah, dalam tulisanku itu, aku ceritakan kalau dia sudah menemukan solusi. Dan dia pun menjadi betah menikmati rumahnya sendiri. Tidak lagi seperti angin yang menyemilir. Bukan lagi air yang terus mengalir mengikuti kelok sungai.
Dia kukisahkan sebagai burung Camar yang terbang tinggi, tapi pasti kembali ke pinggir laut yang membiru. Kembali menikmati hidangan Tuhan yang berserakan di antara pinggiranpinggiran pantai. Camar itu tersenyum. Sesekali menengadah ke hamparan langit luas yang juga membiru seperti hamparan laut. Seakan mengabari langit “Di pantai ini aku mengingatmu. Saat aku bermain denganmu, aku mengenang pantai tempat asalku mendatangimu.”
Si tamu yang sangat senang menatap mataku itu kini menikah. Pernikahan itulah yang telah merubahnya. Seakan mengikat dalam tenang. Karena dia sudah menikmati rumahnya yang berpayung rumah tangga. Dia tak lagi menangis. Malah senyum terukir manis.
Kini, aku sudah selesai menulis cerpenku. Aku termenung di depan komputer temanku itu. Melihat dan mengoreksi hasil tulisanku itu. Sebenarnya aku salah. Karena menurut temanku yang sudah jago menulis, “setelah kau selesai menulis, simpan dulu. Harus diinkubasi. Jangan langsung diedit.” Katanya yang kuikuti dengan anggukan kepalaku yang seakan patuh.
Biasanya aku memang patuh. Tapi, tidak untuk sekarang. Maafkan aku, teman. Sekarang aku sangat butuh uang. Aku akan segera mengirimkan ke media cetak. Dan itu tak butuh waktu untuk menunggu lagi. Karena aku benarbenar butuh uang.
Kulanjutkan editanku. Kubenahi tanda baca yang salah di sanasini. Kadang aku memicingkan mataku. Kadang aku tersenyum menikmati katakataku yang kurasa lucu. “Ah, tulisanku. Semoga kau diterima oleh media cetak. Dan kalau itu terjadi, berarti Tuhan telah mengirimmu menjadi penolongku. Penolong dompetku yang lagi sakit kanker, kantong kering kata temanku.” Batinku berbisik. Mengingat Tuhan dengan semangat menggebu saat menerima kurnianya.
Dan malam ini aku bisa menulis walau sebenarnya otakku sedang buntu. Aku bisa menulis karena tamu misterius itu. Yang jelas ini juga adalah anugerah Tuhan. Salah satu caranya untuk menolongku. Unutk memberi rezeki padaku. “Ah, Tuhanku selalu banyak cara. Ah, Tuhanku selalu hadir pada hambaNya yang mau berusaha. Oh, Tuhan, terima kasih. Semoga aku selalu bersyukur saat menerima rizkimu. Dan sabar dalam cobaMu. Amin.”
http://www.anekaremaja.com/2012/01/cerpen-pendidikan-2012-akhirnya-aku.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar