Sabtu, 18 Februari 2012

Sastra Jawa

Sastra Jawa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Sastra Jawa
Sastra Jawa Kuno
Sastra Jawa Pertengahan
Sastra Jawa Baru
Sastra Jawa Modern
Sastra terkait
Sastra Jawa-Bali
Sastra Jawa-Lombok
Sastra Jawa-Madura
Sastra Jawa-Palembang
Sastra Jawa-Sunda
Sastra Jawa-Tionghoa
Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna.
Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuna).
Biasanya sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa:
Terdapat pula kategori Sastra Jawa-Bali, yang berkembang dari Sastra Jawa Tengahan. Selain itu, ada pula Sastra Jawa-Lombok, Sastra Jawa-Sunda, Sastra Jawa-Madura, dan Sastra Jawa-Palembang.
Dari semua sastra tradisional Nusantara, sastra Jawa adalah yang paling berkembang dan paling banyak tersimpan karya sastranya. Tetapi setelah proklamasi RI, tahun 1945 sastra Jawa agak dianaktirikan karena di Negara Kesatuan RI, kesatuan yang diutamakan.
Bahasa Jawa pertama-tama ditulis dalam aksara turunan aksara Pallawa yang berasal dari India Selatan. Aksara ini yang menjadi cikal bakal aksara Jawa modern atau Hanacaraka yang masih dipakai sampai sekarang. Dengan berkembangnya agama Islam pada abad ke-15 dan ke-16, huruf Arab juga dipergunakan untuk menulis bahasa Jawa; huruf ini disebut dengan nama huruf pegon. Ketika bangsa Eropa menjajah Indonesia, termasuk Jawa, abjad Latin pun digunakan untuk menulis bahasa Jawa.

Kategori sastra Jawa

Sastra Jawa secara global bisa dibagi menjadi dua kategori yaitu yang ditulis dalam bentuk prosa atau puisi. Dalam bentuk prosa biasanya disebut gancaran dan dalam bentuk puisi biasa disebut dengan istilah tembang. Sebagian besar karya sastra Jawa ditulis dalam bentuk tembang mulai dari awal bahkan sampai saat ini. Untuk informasi lebih lanjut silakan lihat artikel: Tembang dalam Sastra Jawa.


http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jawa

Jumat, 17 Februari 2012

Novel angkatan 20-30an




Ciri-cirinya:
a. Tema berkisar masalah adat dan kawin paksa
b. Isinya kebanyakan mengkritik keburukan adat lama dalam soal perkawinan.
c. Tokoh-tokohnya diceritakan sejak muda hingga meninggal dunia
d. Konflik yang dialami para tokoh kebanyakan disebabkan perselisihan dalam memilih nilai kehidupan (barat dan timur)
e. Pleonasme (menggunakan kata-kata yang berlebihan)
f. Bahasa terkesan kaku dan statis
g. Bahasanya sangat santun
h. Para penulisnya kebanyakan berasal dari Pulau Sumatera

Sinopsis beberapa novel Angkatan 20/30-an:
@ Novel Salah Asuhan
@ Novel Layar Terkembang
@ Novel Dian yang Tak Kunjung Padam
@ Novel Sitti Nurbaya
@ Novel Azab dan Sengsara



SINOPSIS NOVEL | "SALAH ASUHAN" karya Abdul Muis---



Novel karya Abdul Muis ini merupakan salah satu roman yg lahir di masa Angkatan '20-an, banyak mendapat perhatian kalangan sastrawan, dan berlatar belakang adat-istiadat Minangkabau. Pertama kali terbit tahun 1928 oleh PN. Balai Pustaka.

Hanafi dikirim ibunya ke Betawi untuk bersekolah di HBS (Hoogere Burger School). Walaupun ibu Hanafi hanyalah seorang janda, dia menginginkan anaknya menjadi orang pandai. Karena itu, ia bermaksud menyekolahkan Hanafi setinggi-tingginya. Masalah biaya, dia berusaha keras untuk selalu memenuhinya walaupun harus meminta bantuan kepada mamaknya, Sutan Batuah.
Selama di Betawi, Hanafi dititipkan pada keluarga Belanda, sehingga dia setiap hari dididik secara Belanda dan bergaul dengan orang-orang Belanda. Pergaulan Hanafi setamat HBS juga tidak terlepas dari lingkungan orang-orang Eropa. Hal ini karena dia bekerja di kantor asisten residen di Solok. Dia sangat bangga menjadi orang Belanda walaupun sebenarnya dia seorang pribumi asli. Gaya hidupnya sangat kebarat-baratan. Bahkan, terkadang melebihi orang barat yang sebenarnya.
Selama bergaul dengan orang-orang Eropa, Hanafi jatuh hati pada salah seorang gadis Eropa bernama Corrie. Corrie adala seorang gadis indo Perancis-Belanda. Hubungan keduanya memang akrab. Mereka suka mengobral berdua. Corrie mau bergaul dengan Hanafi hanya sebatas teman karena mereka sering bertemu. Namun, bagi Hanafi, hubungan pertemanan itu diartikan lain, dia merasa bahwa Corrie pun mencintai dirinya seperti yang ia rasakan. Ketika Hanafi mengemukakan isi hatinya, Corrie menolak secara halus. Corrie merasa tidak mungkin menjalin hubungan dengan Hanafi karena perbedaan budaya di antara mereka. Corrie adalah peranakan Eropa, sedangkan Hanafi orang pribumi. Namun, tampaknya Hanafi tidak mengerti penolakan itu.


<p>Your browser does not support iframes.</p> 
 
 
SINOPSIS NOVEL | "LAYAR TERKEMBANG" Karya Sutan T.Alisjahbana---



Layar Terkembang merupakan karya STA (Sutan Takdir Alisjahbana) yg pertama kali diterbitkan oleh PN. Balai Pustaka tahun 1939.

Raden Wiraadmadja memiliki dua orang anak gadis yang sifatnya sangat berbeda, yaitu Tuti dan Maria. Anak pertamanya, Tuti, adalah seorang gadis yang pembawaannya selalu serius sehingga gadis itu cenderung pendiam. Namun, ia sangat berpendirian teguh dan aktif dalam berbagai organisasi wanita. Ia bahkan aktif dalam memberikan orasi-orasi tentang persamaan hak kaum wanita. Pada saat itu, semangat kaum wanita sedang bergelora sehingga mereka mulai menuntut persamaan hak dengan kaum pria. Anak keduanya adalah Maria. Ia memiliki sifat yang lincah, sangat periang, dan bicaranya ceplas-ceplos. Itulah sebabnya, semua orang yang berada di dekatnya pasti akan menyenangi kehadirannya.

Pada suatu sore, kedua kakak beradik itu berjalan-jalan ke sebuah pasar ikan. Ketika mereka sedang melihat ikan-ikan dalam akuarium, mereka berkenalan dengan seorang pemuda tampan yang bernama Yusuf. Ia adalah seorang mahasiswa kedokteran. Ketika pulang, Yusuf mengantarkan kedua gadis itu sampai ke rumah mereka.

Sejak pertemuan pertama, Yusuf selalu membayangkan wajah Maria. Senyum dan tingkah Maria yang periang membuat pemuda itu merasa senang berada di sampingnya.
Takdir kembali mempertemukan Yusuf dengan Maria dan kakaknya di depan hotel Des Indes. Dengan senang hati, Yusuf mengantar kedua kakak beradik itu berjalan-jalan. Setelah pertemuan tersebut, Yusuf jadi sering berkunjung ke rumah mereka. Beberapa waktu kemudian Yusuf dan Maria sepakat menjalin hubungan cinta kasih.

Sementara itu, Tuti yang melihat hubungan cinta kasih adiknya, sebenarnya berkeinginan pula untuk memiliki seorang kekasih. Apalagi setelah ia menerima surat cinta dari Supomo. Namun karena pemuda itu bukanlah idamannya, ia tolak. Sejak itu, hari-harinya disibukkan dengan kegiatan organisasi dan melakukan kegemarannya membaca buku sehingga sedikit melupakan angan-angannya tentang seorang kekasih.

Pada suatu hari keluarga Raden Wiraatmadja dikejutkan oleh hasil diagnosis dokter yang menyatakan bahwa Maria mengidap penyakit TBC. Semakin hari kesehatan gadis itu semakin melemah sekalipun ia telah menjalani perawatan intensif. Maria yang periang dan lincah seperti kehilangan semangat hidupnya. Hal ini membuat Yusuf merasa sedih. Pemuda itu mendampingi kekasih hatinya dengan setia. Namun penyakit TBC yang diderita Maria semakin hari semakin parah sehingga tak lama kemudian Maria pun meninggal dunia. Sebelum ia menghembuskan napasnya yang terakhir, ia meminta Yusuf untuk menerima kakaknya sebagai penggantinya.
Setelah Maria meninggal dunia, Tuti dan Yusuf menjalin hubungan kasih. Mereka pun sepakat untuk menikah.
 

Untuk menghindari Hanafi, Corrie pindah ke Betawi. Di Betawi, dia menegaskan kembali kepada Hanafi mengenai hubungan mereka melalui surat. Dia meminta Hanafi untuk melupakan dirinya. Menerima surat tersebut, Hanafi sangat terpukul dan jatuh sakit. Selama sakit, Hanafi banyak mendapatkan nasihat dari ibunya. Ibunya membujuknya untuk menikahi wanita pribumi pilihan ibunya, Rapiah.
Perkawinan yang tidak didasari perasaan cinta itu membuat keluarga Hanafi-Rapiah tidak pernah tenteram. Hanafi sering menyakiti hati Rapiah, marah-marah, dan memaki-makinya hanya karena persoalan sepele. Namun, Rapiah tak pernah melawan dan semua perlakuan Hanafi diterimanya dengan pasrah. Hal itu membuat kagum ibu mertuanya.
Pada suatu hari, Hanafi digigit anjing gila. Dia harus berobat ke Jakarta. Di Jakarta, dia bertemu dengan Corrie, gadis yang selalu dirindukannya. Hanafi berusaha keras untuk memperoleh Corrie. Dia segera mengurus surat-surat untuk memperoleh hak sebagai orang Belanda. Setelah surat-surat tersebut selesai, dia memohon Corrie agar bersedia bertunangan dengannya. Karena rasa ibanya kepada Hanafi, dengan berat hati Corrie menerima permintaan Hanafi. Corrie tahu, bahwa pertunangan itu akan membuat dirinya dijauhi oleh teman-teman Eropanya.
Pesta pertunangan itu dilaksanakan di rumah seorang teman Belanda Corrie. Tuan rumah itu tidak begitu ramah menyambut pertunangan mereka. Dia tidak suka melihat dan bergaul dengan orang Belanda berkulit sawo matang. Namun, pertunangan itu tetap dilaksanakan dalam suasana hambar.
Sementara itu, Rapiah dan ibunya tetap menunggu kedatangan Hanafi di kampungnya, walaupun mereka telah mengetahui bahwa Hanafi akan menikah dengan Corrie. Walau ditinggalkan suaminya, Rapiah masih tetap tinggal bersama mertuanya. Hal itu atas permintaan ibu Hanafi. Dia menyayangi Rapiah melebihi rasa sayangnya kepada Hanafi. Dia kagum atas kesabaran dan kesetiaan Rapiah terhadap anaknya. Padahal perlakuan Hanafi terhadap Rapiah sangat keterlaluan, namun Rapiah selalu memaafkannya.
Sementara itu, rumah tangga Hanafi dan Corrie tidak seperti yang mereka harapkan. Sedikit pun tidak ada ketentraman dan kedamaian yang sebelumnya mereka harapkan. Keluarga mereka dijauhi oleh teman-teman mereka sendiri. Keduanya hidup dalam kondisi yang membingungkan. Bangsa Eropa tidak mengakui mereka. Demikian pula, bangsa Hanafi tidak mengakuinya karena keangkuhan dan kesombongan Hanafi.



SINOPSIS NOVEL | "DIAN YANG TAK KUNJUNG PADAM" karya Sutan Takdir Alisjahbana---
Dian yang Tak Kunjung Padam merupakan karya STA (Sutan Takdir Alisjahbana) yg pertama kali diterbitkan oleh PN. Balai Pustaka pd tahun 1932.
Tokoh:
Yasin, Molek, Raden Mahmud, Cek Siti, Ibu Yasin, Sayid Mustafa.


Suatu hari, Yasin, seorang pemuda yatim yang miskin secara kebetulan bertemu dengan seorang gadis cantik, putri seorang bangsawan Palembang. Pada saat itu, gadis cantik yang bernama Molek itu, sedang bersantai-santai di serambi rumahnya yang mewah di dekat sungai. Rupanya si cantik itu jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Yasin. Demikian pula halnya dengan Yasin. Namun, hubungan cinta mereka tidak mungkin dapat diwujudkan sebab perbedaan status sosial yang mencolok antara keduanya.

Baik Yasin maupun Molek sama-sama menyadari akan kenyataan itu, namun cinta kasih mereka yang selalu bergejolak itu mengabaikan kenyataan itu. Itulah sebabnya cinta mereka dilangsungkan melalui surat. Semua kerinduan mereka tumbuh dalam kertas.

Pada suatu hari Yasin bertekad untuk mengakhiri hubungan cinta mereka yang selalu dilakukan secara sembunyi-sembunyi itu. Dia hendak melamar Molek secara terang-terangan. Kemuadian pemuda itu memberitahukan niatnya kepada ibunya dan seluruh kerabatnya. Keluarga Yasin pun berembuk dan dengan segala kesederhanaannya, mereka melamar Molek. Namun, maksud kedatangan mereka ditolak oleh keluarga Molek karena mereka berasal dari keluarga dusun yang miskin. Mereka bahkan menghina dan menyindir keluarga Yasin sehingga rombongan itu pulang dengan membawa segudang rasa malu dan kesal.



<p>Your browser does not support iframes.</p>

Tak lama kemudian keluarga Molek didatangi oleh Sayid, seorang saudagar tua keturunan Arab yang kaya raya. Lelaki tua itu bermaksud untuk melamar Molek. Orangtua Molek yang materialistis itu langsung memutuskan untuk menerima lamaran Sayid. Sekalipun Molek menolak lamaran itu, perkawinan antara keduanya pun tetap berlangsung. Kehidupan perkawinan mereka tidak membawa kebahagiaan bagi Molek karena ia tidak mencintai Sayid. Ia pun mengetahui kalau tujuan Sayid menikahinya hanyalah karena harta ayahnya saja. Selain itu, perlakuan Sayid terhadapnya pun sangat kasar. Itulah sebabnya ia selalu menceritakan kegalauan, kesedihan, dan kerinduannya terhadap Yasin melalui surat-suratnya.
Ketika mengetahui pujaan hatinya hidup menderita dan juga karena kerinduannya yang semakin mendalam terhadap kekasihnya itu, Yasin mencoba menemui Molek di Palembang dengan menyamar sebagai seorang pedagang nanas. Namun pertemuan itu ternyata merupakan pertemuan terakhir mereka karena Molek yang sangat memendam kerinduan kepada Yasin itu akhirnya meninggal dunia.

Setelah kematian kekasihnya, Yasin kembali ke desanya. Tak lama kemudian, ibunya pun meninggal dunia. Semua musibah yang menimpanya membuat lelaki itu memilih hidup menyepi di lereng gunung Semeru dan ia pun meninggal di gunung itu.






SINOPSIS NOVEL | "SITTI NURBAYA" karya Marah Rusli---

Sitti Nurbaya karya Marrah Rusli pertama kali terbit pada tahun 1922 oleh PN. Balai Pustaka.

Ibunya meninggal saat Sitti Nurbaya masih kanak-kanak, maka boleh dikatakan itulah titik awal penderitaan hidupnya. Sejak saat itu hingga dewasa dan mengerti cinta, dia hanya hidup bersama seorang saudagar kaya di Padang bernama Baginda Sulaiman. Bersebelahan dengan rumah Baginda Sulaiman, tinggal pula seorang penghulu yang sangat disegani dan dihormati penduduk di sekitarnya itu, yang bernama Sutan Mahmud Syah. Ia mempunyai putra bernama Samsulbahri, anak tunggal yang berbudi dan berprilaku baik.

Sebagaimana umumnya kehidupan bertetangga, hubungan antara keluarga Sutan Mahmud Syah dan keluarga Baginda Sulaiman, berjalan dengan baik. Begitu pula hubungan Samsulbahri dan Sitti Nurbaya. Sejak anak-anak sampai usia mereka menginjak remaja, persahabatan mereka makin erat. Apalagi, keduanya belajar di sekolah yang sama. Hubungan kedua remaja itu berkembang menjadi hubungan cinta. Perasaan tersebut baru mereka sadari ketika Samsulbahri akan berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya.

Sementara itu, Datuk Meringgih, salah seorang saudagar kaya di Padang, berusaha untuk menjatuhkan kedudukan Baginda Sulaiman. Ia menganggap Baginda Sulaiman sebagai saingannya yang harus disingkirkan, di samping rasa iri hatinya melihat harta kekayaan ayah Sitti Nurbaya itu. Ia kemudian menyuruh anak buahnya untuk membakar dan menghancurkan bangunan, toko-toko, kebun, dan semua harta kekayaan Baginda Sulaiman.

Akal busuk Datuk Meringgih berhasil. Baginda Sulaiman pun jatuh miskin. Namun, sejauh itu, ia belum menyadari bahwa sesungguhnya, kejatuhannya akibat perbuatan licik Datuk Meringgih. Oleh karena itu, tanpa prasangka apa-apa, ia meminjam uang kepada orang yang sebenarnya akan mencelakakan Baginda Sulaiman.

Bagi Datuk Meringgih kedatangan Baginda Sulaiman itu ibarat “Pucuk dicinta ulam tiba”, karena memang hal itulah yang diharapkannya. Rentenir kikir yang tamak dan licik itu, kemudian meminjamkan uang kepada Baginda Sulaiman dengan syarat harus dapat dilunasi dalam waktu tiga bulan. Pada saat yang telah ditetapkan, Datuk Meringgih pun datang menagih janji.

Malang bagi Baginda Sulaiman. Ia tak dapat melunasi utangnya. Tentu saja Datuk Meringgih tidak mau rugi. Tanpa belas kasihan, ia mengancam akan memenjarakan Baginda Sulaiman jika utangnya tidak segera dilunasi, kecuali apabila Sitti Nurbaya diserahkan untuk dijadikan istri mudanya.

Baginda Sulaiman tentu saja tidak mau putri tunggalnya menjadi korban lelaki hidung belang itu walaupun sebenarnya ia tak dapat berbuat apa-apa. Maka, ketika ia sadar bahwa dirinya tak sanggup untuk membayar utangnya, ia pasrah saja digiring polisi dan siap menjalani hukuman. Pada saat itulah, Sitti Nurbaya keluar dari kamarnya dan menyatakan bersedia menjadi istri Datuk Meringgih asalkan ayahnya tidak dipenjarakan. Suatu putusan yang kelak akan menceburkan Sitti Nurbaya pada penderitaan yang berkepanjangan.

Samsulbahri, mendengar peristiwa yang menimpa diri kekasihnya itu lewat surat Sitti Nurbaya, juga ikut prihatin. Cintanya kepada Sitti Nurbaya tidak mudah begitu saja ia lupakan. Oleh karena itu, pada suatu kesempatan liburan, ia pulang ke Padang. Ketika itu ayah Sitti Nurbaya sedang sakit keras. Syamsulbahri menyempatkan diri menengok Baginda Sulaiman. Kebetulan pula, Sitti Nurbaya pada saat yang sama sedang menjenguk ayahnya. Tanpa sengaja, keduanya pun bertemu lalu saling menceritakan pengalaman masing-masing.

Ketika mereka sedang asyik mengobrol, datanglah Datuk Meringgih. Sifat Datuk Meringgih yang culas dan selalu berprasangka itu, tentu saja menyangka kedua orang itu telah melakukan perbuatan yang tidak pantas. Samsulbahri yang merasa tidak melakukan hal yang tidak patut, berusaha membela diri dari tuduhan keji itu. Namun Datuk meringgih malah melontarkan kata-kata kotor yg sangat menyinggung perasaan. Aamarah Saymsulbahri tak tertahankan lagi. Pertengkaran pun tak dapat dihindarkan. Sitti Nurbaya berteriak-teriak agar mereka menghentikan perkelahian. Teriakan Sitti Nurbaya terdengar oleh Baginda Sulaiman yg sedang berbaring di tempat tidur dan berusaha datang ke tempat kejadian. Namun, karena kondisinya yang kurang sehat, ia jatuh tersungkur dari tangga dan menghembuskan nafasnya yg penghabisan.

Ternyata ekor perkelahian itu tak hanya sampai di situ. Ayah Samsulbahri yang merasa malu atas tuduhan yang ditimpakan kepada anaknya, kemudian mengusir Samsulbahri. Pemuda itu terpaksa kembali ke Jakarta. Sementara Sitti Nurbaya, sejak ayahnya meninggal merasa dirinya telah bebas dan tidak perlu lagi tunduk dan patuh kepada Datuk Meringgih. Sejak saat itu ia tinggal menumpang bersama salah seorang familinya yang bernama Aminah.

Sekali waktu, Sitti Nurbaya bermaksud menyusul kekasihnya ke Jakarta. Namun, akibat tipu muslihat dan akal licik Datuk Meringgih yang menuduhnya telah mencuri harta perhiasan bekas suaminya itu, Sitti Nurbaya terpaksa kembali ke Padang. Oleh karena Sitti Nurbaya tidak bersalah, akhirnya ia bebas dari tuduhan. Namun, Datuk Meringgih masih juga belum puas. Ia kemudian menyuruh anak buahnya untuk meracun Sitti Nurbaya. Kali ini, perbuatannya berhasil. Sitti Nurbaya meninggal karena keracunan.

Rupanya, berita kematian Sitti Nurbaya membuat sedih ibu Samsulbahri. Ia kemudian jatuh sakit, dan tidak berapa lama kemudian meninggal dunia.

Berita kematian Sitti Nurbaya dan ibu Samsulbahri, sampai juga ke Jakarta. Samsulbahri yang merasa amat berduka, dan mencoba bunuh diri. Tetapi berkali-kali gagal. Ketika gantung diri di palang kayu di rumahnya, ternyata patah. Mencebur di sungai, eh ternyata sungainya dangkal. Di samping itu, lain lagi berita yang sampai ke Padang. Di kota ini, Samsulbahri malah dikabarkan telah meninggal dunia.

Karena niatnya untuk bunuh diri selalu gagal, ia pun mendaftar menjadi serdadu kompeni, dengan niat supaya mati di medan perang dan didorong oleh rasa frustasinya mendengar orang-orang yang dicintainya telah meninggal. Sepuluh tahun berlalu, ia sudah menyandang pangkat letnan yang lebih dikenal dengan nama Letnan Mas. Suatu hari, ia mendapat tugas harus memimpin pasukannya memadamkan pemberontakan yang terjadi di Padang. Ia pun bimbang. Bagaimanapun, ia tak dapat begitu saja melupakan tanah leluhurnya itu. Ternyata pemberontakan yang terjadi di Padang itu didalangi oleh Datuk Meringgih.

Dalam pertempuran melawan pemberontak itu, Letnan Mas mendapat perlawanan cukup sengit. Namun, akhirnya ia berhasil menumpasnya, termasuk juga menembak Datuk Meringgih, hingga dalang pemberontak itu tewas. Namun, Letnan Mas luka parah terkena sabetan pedang Datuk Meringgih.

Rupanya, kepala Letnan Mas yang terluka itu, cukup parah. Ia terpaksa dirawat di rumah sakit. Pada saat itulah timbul keinginan Letnan Mas untuk berjumpa dengan ayahnya. Ternyata, pertemuan yang mengharukan antara “Si anak yang hilang” dan ayahnya itu merupakan pertemuan terakhir sekaligus akhir hayat kedua orang itu. Oleh karena setelah Letnan Mas menyatakan bahwa ia adalah Samsulbahri, ia menghembuskan napas di depan ayahnya sendiri. Adapun Sutan Mahmud Syah, begitu tahu bahwa Samsulbahri yang dikiranya telah meninggal beberapa tahun lamanya tiba-tiba kini tergolek kaku menjadi mayat akhirnya pun meninggal dunia pada keesokan harinya.




SINOPSIS NOVEL | "AZAB DAN SENGSARA" karya Merari Siregar---


Azab dan Sengasara karya Merari Siregar ini merupakn salah satu roman karya sastrawan Angkatan '20 atau Angkatan Balai Pustaka dan merupakan roman yg pertama kali diterbitkan pd tahun 1920.


Di kota Siporok, hidup seorang bangsawan kaya raya yg memiliki seorang anak laki-laki dan seorang perempuan (yg perempuan tdk dijelaskan lbh lanjut oleh pengarangnya). Anaknya yg laki2 bernama Sutan Baringin. Dia sangat dimanja oleh ibunya. Segala kehendaknya selalu dituruti dan segala kesalahannya pun selalu dibela ibunya. Akibatnya, setelah dewasa, Baringin tumbuh menjadi seorang pemuda yg angkuh, berperangai jelek, serta suka berfoya-foya.

Oleh kedua orangtuanya, Sutan Baringin dinikahkan dengan Nuria, seorang perempuan baik-baik pilihan ibunya. Walaupun telah berkeluarga, Sutan Baringin masih tetap suka berfoya-foya menghabiskan harta benda kedua orangtuanya. Dia berjudi dg Marah Said, seorang prokol bambu sahabat karibnya. Sewaktu ayahnya meninggal, sifat Sutan Baringin semakin menjadi, maskin suka berfoya-foya menghabiskan harta warisan orangtuanya. Akhirnya, dia bangkrut dan utangnya sangat banyak.

Dari perkawinannya dengan Nuria, Sutan Baringin mempunyai dua orang anak. Yang satu perempuan bernama Mariamin, sedangkan yg satunya lagi laki-laki (yg laki2 tidak diceritakan pengarang). Akibat tingkah laku ayahnya, Mariamin selalu dihina oleh warga kampungnya akibat kemiskinan orangtuanya. Cinta kasih perempuan yg berbudi luhur ini dengan pemuda bernama Aminuddin terhalang oleh dinding kemiskinan orangtuanya.

Aminuddin adalah anak Bagianda Diatas, yaitu seorang bangsawan kaya-raya yg sangat disegani di daerah Siporok. Sebenarnya Baginda Diatas masih mempunyai hubungan sepupu dengan Sutan Baringin, ayah Mariamin. Ayah Baginda keduanya adalah kakak beradik.

Sejak kecil, Aminuddin bersahabat dg Mariamin. Setelah keduanya beranjak dewasa, mereka saling jatuh hati. Aminuddin sangat mencintai Mariamin. Dia berjanji untuk melamar Mariamin bila dia telah mendapatkan pekerjaan. Keadaan Mariamin yg miskin tidak menjadi masalah bagi Aminuddin.

Aminuddin memberitahukan niatnya utk menikahi Mariamin kepada kedua orangtuanya. Ibunya tidak merasa keberatan dengan niat tersebut. Dia benar2 mengenal pula keluarganya. Keluarga Mariamin masih keluarga mereka juga sebab ayah Baginda Diatas, suami ibu Aminuddin, dengan Sutan Baringin, ayah Mariamin, adalah kakak beradik. Selain itu, dia juga merasa iba terhadap keluarga Mariamin yg miskin. Bila menikah dg anaknya, dia mengharapkan agar keadaan ekonomi Mariamin bisa terangkat lagi.

Ayah Aminuddin, Baginda Diatas, tidak setuju dg niat anaknya menikahi Mariamin. Jika pernikahan itu terjadi, dia merasa malu sebab dia merupakan keluarga terpandang dan kaya-raya, sedangkan keluarga Mariamin hanya keluarga miskin. Namun, ketidaksetujuannya tsb tidak diperlihatkan kepada istri dan anaknya.



<p>Your browser does not support iframes.</p>

Dengan cara halus, Baginda Diatas berusaha menggagalkan pernikahan anaknya. Salah satu usahanya adalah mengajak istrinya menemui seorang peramal. Sebelumnya dia telah menitipkan pesan kepada peramal agar memberikan jawaban yg merugikan pihak Mariamin. Jelasnya, sang peramal memberikan jawaban bahwa Aminuddin tidak akan beruntung jika menikah dg Mariamin.

Setelah mendengar jawaban dr peramal tersebut, ibu Aminuddin tdk bs berbuat banyak. Dg terpaksa, dia menuruti kehendak suaminya utk menvarikan jodoh yg sesuai utk Aminuddin. Mereka langsung melamar seorang perempuan dari keluarga berada. Oleh karena Aminuddin sedang berada di Medan, mencari pekerjaan, Baginda Diatas mengirim telegram yg isinya meminta Aminuddin menjemput calon istri dan keluarganya di stasiun kereta api Medan.

Menerima telegram tsb, Aminuddin mersasa sangat gembira. Dlm hatinya telah terbayang wajah Mariamin. Ia mengira bahwa calon istri yg akan dia jemput adalah Mariamin. Namun setelah mengetahui bahwa calon istrinya itu bukanlah Mariamin, hatinya menjadi hancur. Tapi sebagai anak yg berbakti terhadap orangtuanya, dengan terpaksa ia menikahi perempuan pilihan orangtuanya itu. Aminuddin segera memberitahukan kenyataan itu kepada Mariamin.

Mendengar berita itu, Mariamin sangat sedih dan menderita. Dia langsung pingsan tak sadarkan diri. Tak lama kemudian, dia pun jatuh sakit. Stahun setelah kejadian itu, Mariamindan ibunya terpaksa menerima lamaran Kasibun, seorang kerani di Medan. Pada waktu itu, Kasibun mengaku belum mempunyai istri. Mariamin pun akhirnya diboyong ke Medan.

Sesampainya di Medan, terbuktilah siapa sebenarnya Kasibun. Dia hanyalah seorang lelaki hidung belang. Sebelum menikah dg Mariamin, dia telah mempunyai istri, yg dia ceraikan karena hendak menikah dg Mariamin. Hati Mariamin sangat terpukul mengetahui kenyataan itu. Namun, sebagai istri yg taat beragama, walaupun dia membenci dan tidak mencintai suaminya, dia tetap berbakti kepada suaminya.

Perlakuan kasar Kasibun terhadap Mariamin semakin menjadi setelah Aminuddin mengunjungi rumah mereka. Dia sangat cemburu pada Aminuddin. Menurutnya, penyambutan istrinya terhadap Aminuddin sangat di luar batas. Padahal, Mariamin menyambut Aminuddin dg cara yg wajar. Namun, karena cemburunya yg sangat berlebihan, Kasibun menganggap Mariamin telah memperlakukan Aminuddin secara berlebih-lebihan. Akibatnya, dia terus-menerus menyiksa Mariamin. (Mencintai kok menyiksa, ya?)

Perlakuan Kasibun yg kasar kepadanya, membuat Mariamin hilang kesabaran. Dia tidak tahan lagi hidup menderita serta disiksa setiap hari. Akhirnya, dia melaporkan perbuatan suaminya kepada kepolisian Medan. Dia langsung meminta cerai. Permintaan cerainya dikabulkan oleh pengadilan agama di Padang.

Setelah resmi bercerai dg Kasibun, dia kembali ke kampung halamnannya dengan penuh kehancuran. Hancurlah jiwa dan raganya. Kesengsaraan dan penderitaan secara batin maupun fisiknya terus mendera dirinya dari kecil hingga dia meninggal dunia. Sungguh tragis nasibnya.


Wah, seru kan? Ayo baca bukunya, lebih seru......

http://www.yadi82.com/2010/11/ciri-ciri-novel-angkatan-2030.html

Cerpen Pendidikan Dokter

Cerpen Pendidikan Dokter - Berikut ini contoh cerpen pendidikan tentang dokter yang dapat anda jadikan bahan diskusi dalam pembuatan cerpen pendidikan tentang dokter di sekolah.

Banyak yang tidak bisa diatasi oleh ilmu kedokteran. Bagaimana pembuahan di luar rahim, dalam bayi tabung, dipastikan akan menumbuhkan janin ketika dicangkok ke rahim ibu? Virus influenza, HIV, flue burung sampai sekarang masih dicari obatnya. Di luar itu masih ada musuh bayangan yang ampuh: dukun.
Seperti kata Dokter John Manansang yang malang-melintang di belantara Boven Digul, masyarakat pedalaman cenderung menunda pergi ke dokter, karena lebih dulu mau konsultasi ke dukun.
Kalau yang sakit sudah sekarat, baru dibawa ke Puskesmas. Biasanya pasien parah langsung diinfus, sehingga ketika maut tiba, masyarakat cenderung melihan jarum infuslah yang sudah membunuh. Sulit menjelaskan kalau sudah ajal, tanpa diinfus atau tidur di hotel bintang lima, manusia tetap mati.
Pada suatu malam, saya dijemput untuk mengobati orang yang menurut dukun dapat kiriman ular berbisa dalam perutnya. Ketika sampai di Puskesmas, saya lihat tubuh orang itu sudah kaku. Dia pasti sudah meninggal di rumahnya. Tetapi keluarganya memaksa saya untuk mengeluarkan ular itu.
“Pak Dokter harus tolong kami. Dia itu kepala keluarga. Hidup-mati kami tergantung pada dia!”
“Tapi sudah terlambat.”
“Terlambat bagaimana, kami sudah bawa ke mari pakai taksi! Uang kami sudah banyak keluar!”
“Tapi sebelum dibawa ke mari nampaknya dia sudah tidak ada!”
“Itu tidak mungkin! Setiap hari lima orang dukun kami bergantian menjaga dia Tidak mungkin roh jahat itu bisa masuk lagi. Pak Dokter mesti keluarkan ular itu dari perutnya!”
“Kalau toh itu benar ada ular dikirim ke perutnya, tidak ada gunanya, sebab orangnya sudah meninggal.”
“Makanya keluarkan ular itu cepat, Pak Dokter jangan ngomong terus!”
“Kami memang miskin, tidak bisa bayar, tapi ini kewajiban Dokter mesti tolong kita punya kepala keluarga!”
“Jangan bikin kami tambah susah Dokter! Mentang-mentang kami orang kecil!”
“Cepat bertindak!”
Saya disumpah untuk menjalankan praktek sesuai dengan ethik kedokteran. Tetapi di dalam hutan, itu tidak berlaku. Saya bisa dibunuh kalau tidak melakukan apa yang mereka minta, karena saya dokter, saya dianggap wajib bisa menyembuhkan orang sakit.
Disaksikan keluarganya, saya bedah mayat itu. Saya buktikan tidak ada ular di perutnya seperti kata dukun. Dia mati karena kurang gizi dan salah menegak ramu-ramuan dukun. Tetapi meskipun sudah melihat kenyataan dengan mata kepalanya sendiri, keluarganya tidak percaya. Mereka malah menuduh saya yang sudah terlambat bertindak.
“Kalau pak Dokter langsung bertindak tadi, tidak akan terlambat.”
“Terlambat bagaimana?!”
“Kata dukun, ular itu sudah masuk ke dalam tulang-sumsumnya bersatu dengan darah. Di bawa ke China pun dia akan tetap mati, apalagi hanya ke Puskesmas yang fasilitasnya brengsek ini. Dokter tidak bertanggungjawab!”
“Dokter harus bertindak!”
“Bertindak bagaimana lagi? Paling banter saya bisa menulis surat kematian pasien supaya bisa dibawa pulang!”
“Tidak bisa! Kita tidak bisa bawa dia pulang dalam keadaan sudah jadi mayat. Dia harus terus hidup! Dia kita bawa ke mari untuk maksud supaya dia bisa sembuh. Masak Dokter mau kirim lagi dia pulang supaya jadi mayat. Kasihan keluarganya, Dokter! Dia itu andalan hidup keluarganya, tahu?! Dia tidak boleh mati!”
“Tapi ajal itu di tangan Tuhan, kita hanya bisa berusaha!”
“Makanya kau harus berusaha terus Dokter!”
“Berusaha bagaimana lagi?”
“Panggil! Kejar sekarang!”
“Kejar ke mana?”
“Ayo kejar! Kata dukun dia belum jauh. Paling berapa kilometer. Kalau Dokter cepat bertindak, tidak cuma ngobrol, dia pasri bisa disusul!”
“Disusul?”
“Ah, kau lambat sekali. Beta bilang kejar! Kejar!”
Mereka mendorong saya masuk ke dalam kamar, memaksa saya menarik orang mati itu kembali dari kematiannya. Mereka bahkan bilang siap membantu saya dengan senjata kalau nantinya harus berkelahi.
“Kami bisa panggil kawan-kawan yang lain sekarang untuk bantu. Kami juga punya saudara yang jadi perwira militer. Kita bisa pinjam senjata kalau memang perlu, asal habis jam kantor!”
“Ayo Pak Dokter, jangan terlalu banyak diskusi, nanti terlambat lagi! Kau ini dokter atau mantri?!”
Saya terpaksa kembali ke dekat mayat itu. Sepanjang malam mereka berjaga di sekitar Puskesmas dengan segala macam senjata siap tempur. Ada yang menangis, berdoa dan menyanyi. Dukun pun terus menjalankan upacara, mengeluarkan jampi-jampi agar roh yang mereka anggap sudah diculik suku lain itu pulang.
Saya bingung. Saya duduk di sisi mayat kehabisan akal. Apa yang harus saya lakukan untuk keluar dari persoalan yang tidak menyangkut bidang kedokteran itu. Saya tidak mengerti kehidupan di alam gaib. Akhirnya saya tertidur juga karena terlalu capek.
Pagi-pagi pintu digedor. Orang-orang itu berteriak-teriak tidak sabar, ingin tahu apa hasilnya. Tubuh yang meninggal pun sudah mulai berbau. Wajahnya meringis kesakitan, seakan-akan minta cepat-cepat dikuburkan. Waktu itu saya tidak berpikir lagi seperti seorang dokter sebagaimana yang saya pelajari di kampus. Saya terpaksa menjadi dukun.
Saya rogoh saku, gaji yang saya hendak kirim ke rumah masih utuh. Lalu saya buka pintu.
“Bagaimana?”
“Tenang!”
“Tenang bagaimana? Kami tidak mau Dokter bilang sudah gagal!”
“Saya sudah berusaha..”
“Dan hasilnya?”
“Lumayan.”
“Ah, apa itu itu artinya lumayan, kita orang tidak suka! Itu bahasa orang birokrat yang suka menipu. Bilang saja terus-terang, berhasil atau tidak?”
“Berhasil.”
Mereka tercengang.
“Jadi dia hidup lagi?”
“Bapak-bapak mau dia hidup lagi atau tidak?”
“Sudah pasti kita mau dia orang hidup lagi. Itu maka kita bawa dia ke mari!”
“Saya sudah mencoba.”
“Terus hasilnya?”
“Itu, ” kata saya menunjuk pada mayat.
Semuanya melihat melewati tubuh saya ke arah mayat itu. Saya berikan ruang agar mereka lewat, tapi tidak ada yang mau. Bau mayat itu menyebabkan semuanya tertegun. Dukun sendiri malah mundur selangkah.. Mereka semua nampak bimbang. Kebimbangan itu justru membangkitkan keberanian saya. Saya mulai tahu apa yang harus dilakukan.
“Ayo!”
Orang-orang itu tambah ragu-ragu, tak percaya apa yang saya katakan. Tak percaya apa yang sedang mereka lihat.
“Jadi dia hidup lagi?”
Saya mengangguk. Mereka curiga. Tapi tidak ada yang berani memeriksa..
“Kalau dia hidup mengapa tidak bergerak?”
“Dan mengapa bau?”
“Tadi dia sudah hidup, sekarang sedang tidur.”
“Tidur?”
“Ya.. Tidur untuk selamanya.”
“Apa?!!!!”
“Tapi dia meninggalkan pesan.”
“Pesan apaan!? Kita tidak perlu pesan, kita hanya mau supaya dia hidup lagi!!!”
Saya tidak peduli apa yang mereka katakan. Lalu saya mengulurkan amplop uang gaji itu.
“Kata dia sebelum tidur, berikan ini kepada istri, anak-anak dan keluargaku yang aku tinggalkan. Sampaikan kepada mereka, tenang semua, biarkan aku istirahat sekarang, karena aku sudah lelah sekali, puluhan tahun berjuang menghidupi keluarga, aku tidak sanggup lagi bekerja!”
Orang-orang itu terdiam. Mereka hanya memandang amplop yang saya berikan. Tapi kemudian dukun perlahan-lahan maju. Ia memperhatikan amplop yang saya tunjukkan. Diendus-endusnya dari jauh. Setelah mengucapkan mantera lalu ia mengulurkan japit untuk mengambilnya. Setelah merobek dan mengeluarkan isinya, ia menghitung. Bahkan sampai tiga kali. Kemudian ia melihat kepada orang-orang itu, lantas membagikan uang sambil menahan beberapa di tangannya.
Orang-orang itu menerima uang tanpa menanyakan apa-apa. Seakan-akan itu memang sudah hak mereka. Setelah dukun mengeluarkan mantera, mereka lalu bergerak. Beberapa orang menyanyi, yang lain menghampiri mayat, lalu membawa yang meninggal itu dengan tertib keluar dari Puskesmas untuk dikuburkan.
Saya sama sekali tidak ingin mengatakan, bahwa saya sudah berhasil membeli kesedihan mereka dengan uang. Tidak. Saya sama sekali tidak melihat persoalan itu dari kaca-mata orang kota yang sinis. Apalagi jumlah yang saya berikan juga tidak banyak. Saya hanya mencoba memahami itu sebagai akibat ulah saya yang berhasil berbicara, menyampaikan duka yang amat berat bagi mereka itu, dengan bahasa yang mereka pahami.
“Barangkali mereka senang karena saya tidak menyalahkan dukun. Puas karena saya tidak mencela mereka terlambat membawa sang sakit ke Puskesmas. Tidak melecehkan keberatan atau protes mereka pada nasib, karena yang meninggal memang benar-benar dibutuhkan oleh keluarganya sebagai tiang kehidupan. Mungkin juga mereka senang karena saya tidak mengabaikan perasaan-perasaan mereka, karena saya tidak menganggap kebenaran kota sayalah yang paling benar.”
Tapi setelah itu banyak perubahan yang terjadi. Saya jadi terseret ke dalam situasi yang membuat saya lebih gagap. Saya ternyata sudah mengayunkan langkah ke dunia yang sama sekali asing. Begitu kejeblos, saya langsung kelelap, lantaran saya sama sekali tidak siap.
Sejak itu saya sering diminta untuk mengobati mayat. Profesi saya sebagai dokter yang harus berhadapan dengan orang yang mau bertahan hidup, berubah menjadi pengurus orang mati. Walhasil saya sudah menyalahi sumpah. Berkhianat dan berdosa kepada almamater saya.
Tak jarang yang dibawa pada saya mayat dukun yang sebelum mati sudah berkali-kali wanti-wanti agar nanti dibawa ke Puskesmas. Kalau saya tolak, bisa jadi konflik, karena saya sudah terlanjur dipercaya. Saya sudah memulai dan membangun sesuatu, kalau saya runtuhkan lagi, saya akan berhadapan dengan kekecewaan dan bukan tidak mungkin kekerasan.
Setiap kali mengobati mayat, saya tidak punya kiat lain kecuali saya harus merogoh saku, mengeluarkan duit. Mengulur semacam pelipur, atau apa sajalah namanya, untuk mentolerir duka yang tak bisa mereka elakkan. Akibatnya saya cepat sekali bangkrut.
Barang-barang saya jual satu per satu sampai saya kehilangan segala-galanya. Termasuk cincin pemberian ibu saya. Sementara itu kondisi kesehatan di daerah terpencil tambah rawan. Frekuensi orang mati terus saja bertambah dan semuanya dibawa ke Puskesmas, minta agar saya mengobatinya.
Pernah saya sampai berpikir itu sudah sampai pada tingkat pemerasan. Saya tidak percaya orang-orang pedalaman itu sesungguhnya sebodoh itu. Itu bukan kebodohan lagi tetapi justru kecerdasan. Itu kiat yang dengan lihai menyembunyikan dirinya di balik keluguan. Strategi “orang bodoh” untuk membunuh lawan pintar yang lebih kuasa dengan halus.
Pada suatu malam, muncul di Puskesmas mayat seorang kepala suku. Badannya penuh dengan luka parang. Kepalanya sudah putus dari tubuhnya. Rombongan pengantarnya banyak sekali. Hampir seluruh suku ikut mengarak memenuhi halaman Puskesmas
“Kami berkelahi mempertahankan kehormatan kami dari serangan suku buas., “kata putra kepala suku, “Sebelum perang, Bapa sudah berpesan kalau terjadi apa-apa supaya dibawa ke mari. Tolong hidupkan Bapa kami, Dokter, karena kalau sampai dia mati, berarti kami kalah dan malu besar! Kami mempertaruhkan kehormatan seluruh warga kami!”
Saya termenung di depan mayat itu. Kepalanya bisa saya sambung, tapi ke mana saya cari ganti nyawanya yang hilang? Para pejuang suku itu berjaga-jaga di sekitar Puskesmas dengan senjata-senjata mereka. Banyak di antaranya yang terluka, tetapi mereka tidak peduli. Mereka hanya ingin kepala sukunya kembali hidup supaya pertempuran bisa dilanjutkan.
Saya bingung. Tak ada duit sepeser pun lagi di kantong. Lebih dari itu, duit tak akan mungkin dapat menyenangkan hati suku kaya yang merasa dipermalukan itu.
Saya benar-benar cemas. Saya kira karir saya sebagai dokter sudah tamat. Di samping itu akhir hidup saya juga nampak sudah tiba. Mereka pasti akan kecewa sekali, karena saya memang bukan dukun yang sebenarnya.
Perasaan berdosa yang sejak lama sudah menekan, sekarang menghajar saya. Saya sudah berpura-pura jadi dukun, agar bisa nyambung dengan masyarakat, tetapi ternyata tidak cukup. Saya dituntut menjadi dukun yang sebenarnya. Itu mustahil. Mestinya saya sudah cabut sejak kasus pertama.
Semalam suntuk saya tidak bisa memejamkan mata. Subuh, pintu dibuka dan anak kepala suku beserta seluruh prajurinya yang berang itu menatap saya.
“Berhasil Dokter?”
Tubuh saya gemetar.
“Jangan kecewakan kami Dokter!
Saya tidak berani menjawab.
“Kehormatan buat kami paling penting. Kami boleh kelaparan karena tidak dapat binatang perburuan, boleh mati karena wabah penyakit, boleh kocar-kacir karena kebakaran, gempa, banjir, longsor atau letusan gunung berapi, tapi jangan sampai kalah dan menanggung malu.
Bapa orang kebal yang selalu menang dalam pertempuran . Dia tidak boleh mati karena senjata lawan. Kehormatan kami akan hilang selama-lamanya. Lebih baik kami musnah daripada menanggung malu karena kalah!”
“Saya paham itu.”
“Kalau begitu hidupkan lagi Bapa.”
“Saya sudah berusaha.”
“Kami tidak mau hanya usaha. Kami mau ada hasil!”
“Tapi .. “.
“Kalau satu hari tidak cukup, kami bisa tunggu. Bila perlu sebulan atau setahun kami bisa tunggu di sini, asal dia bisa hidup lagi. Bapa saya itu raja. Apa artinya orang-orang ini, kalau Bapa tidak ada?”
“Ya itu saya juga mengerti sekali. Kapal tidak bisa jalan tanpa nakhoda!”
“Makanya hidupkan lagi Bapaku. Otaknya rusak juga tidak apa, asal hidup. Bapa saya itu lambang. Kami semua ada karena dia hidup. Kalau dia mati, kami semua akan mati. Apa Dokter perlu nyawa pengganti?”
“Apa?”
“Sepuluh bahkan seratus orang dari kami sekarang juga mau menyerahkan nyawanya asal bisa menggantikan nyawa Bapa. Hidupkan dia sekarang Dokter!”
“Darah tumpah itu bisa diganti dengan tranfusi, tapi nyawa tidak mungkin.”
“Tapi kau Dokter kan?!”
“Betul.”
“Orang-orang lain mati sudah kau hidupkan, kenapa bapa kami tidak? Apa bedanya? Bapaku itu selalu cinta perdamaian. Dia cinta kami semua. Dia selalu menyanyikan lagu kebangsaan dan memimpin upacara bendera, tidak seperti orang-orang lain yang pura-pura saja cinta supaya dapat uang dari negara, tapi cintanya palsu. Kenapa orang yang berjuang seperti Bapa dibiarkan mati? Ayo Dokter!”
Saya tidak sanggup menjawab.
“Dokter mau biarkan aku punya Bapa mati?”
“Tidak.”
“Kalau begitu hidupkan dia sebab dia sangat mencintai negara! Mengapa orang-orang yang tidak mencintai negara dibiarkan hidup tapi Bapaku yang berjuang untuk negara tidak? Tolong Dokter!”
“Beliau sekarang akan meneruskan perjuangan dari dunia maya, supaya musuh dapat diberantas.”
Anak kepala suku itu kaget.
“Maksud Dokter Bapaku mati?”
Saya tidak mampu menjawab. Anak kepala suku itu sangat kcewa. Mukanya langsung keruh. Semua pengikutnya marah lalu berteriak-teriak histeris. Mereka melolong seperti binatang liar. Saya ketakutan. Para prajurit itu mengangkat senjata seperti hendak mencencang apa saja yang ada di Puskesmas. Semua pegawai meloncat lari menyelamatkan diri.
Karena bingung saya mundur menghampiri meja. Dengan panik, di belakang punggung tangan saya meraba-raba mencari sesuatu untuk bertahan. Kalau saya harus mati, saya tidak mau mati terlalu konyol. Kalau kalah, kalahlah dengan indah dan gagah, pesan orang tua saya waktu kecil.
Harapan saya ada gunting, pisau atau barang tajam lainnya, tidak terkabul. Di laci, tangan saya hanya menemukan copotan besi bendera mobil yang dikibarkan pada peringatan hari kemerdekaan. Saya genggam besi itu, lalu mencoba mengambil posisi bertahan. Saya bukan lagi dokter, saya penakut yang tiba-tiba begitu mencintai hidup walau betapa pun brengseknya. .
“Diam!!!!” teriak anak kepala suku itu dengan suara menggeledek.
Teriakannya membuat semua terdiam. Saya gemetar. Besi bendera itu terlepas, tetapi cepat saya gapai lagi, itulah satu-satunya pegangan saya. Anak kepala suku itu menghampiri saya, hangat nafasnya membuat saya tersiraf.
“Jangan tembak!!!”
Dengan gemetar saya tunjukkan tiang bendera itu.
Anak Kepala Suku tertegun. Ia memperhatikan tiang bendera yang berisi merah-putih kecil yang sudah kumal. Tiba-tiba saya melihat peluang. Lalau entah darimana datangnya keberanian, saya berbisik.
“Pahlawan tidak pernah mati. Semangat berjuang tidak bisa mati!”
Pemuda itu terpesona. Ia seakan-akan terpukul oleh suara saya. Orang-orang lain pun tegang. Mereka memandang kami dengan mata mencorong. Lutut saya tambah lemas. Saya tak sanggup lagi bicara. Apa pun yang akan terjadi, saya menyerah.
Anak kepala suku itu menggapai tiang bendera. Saya kira sebentar lagi dia akan menusukkannya ke dada saya. Tapi ajaib, tidak. Pangeran itu memandang bendera kecil itu dengan takjub, lalu ia menunjukkan kepada teman-temannya.
“Semangat berjuang hidup terus tidak bisa mati!” serunya.
Sedetik hening. Tetapi kemudian semua meledak, bersorak gegap-gempita. Kemudian dengan khusuk mereka mengusung jasad almarhum dibawa ke desa mereka untuk dikebumikan.
Sejak itu bukan orang mati, tetapi orang yang tidak mau mati yang datang ke Puskesmas. Mereka tidak hanya mencari obat, tetapi terutama kasih-sayang. Kalau pun kemudian karena sudah ajal, ada orang sakit yang mati, tapi Puskesmas tidak pernah lagi dianggap sebagai pembunuh. Saya sendiri tidak peduli lagi apakah saya masih seorang dokter atau sudah jadi dukun, saya hanya ingin mencintai saudara-saudara saya itu.

Read more: http://www.forumkami.net/cerpen/206680-cerpen-pendidikan-dokter.html#ixzz1miXU721w

Cerpen : AKHIRNYA AKU MENULIS

Malam ini aku hanya termenung di depan komputer temanku. Tak seperti biasanya. Biasanya aku datang ke rumah temanku itu hanya untuk menulis. Selalu berjalan biasa, aku selalu menulis. Menulis cerpen, terkadang. Merangkai kata menjadi puisi, ini yang sering. Tak lebih. Tapi, kali ini aku tak bisa. Imajinasiku seakan tumpul. Otakku tak mengalir deras seperti biasanya. Dan aku hanya termenung. Iya! Begitu saja. Tak lebih. Juga tak kurang.


Aku pun tak mau pusing. Aku mengikuti khayalan buntuku. Kalau memang tak ad ide tak apaapa. Menurutku tak harus marah pada diri yang memang mungkin sedang ingin istirahat. Sedang tak ingin diganggu oleh siapapun. Termasuk aku dan keinginanku yang sering kali memforsirnya. Tak mau tahu dengan capeknya. Mengacuhkan waktu istirahatnya tanpa membuatkan jadwal.

“Tet … teet … teeet.” Ada tamu. Aku mengintipnya dulu dari lobang pintu. Ah, tamu itu tak kukenal. Tapi, aku harus membukakan pintu untuknya. Siapa tahu dia punya perlu. Perlu penting atau tidak tak jadi masalah. Karena aku tak berhak mengukur kepentingannya dengan apa yang aku anggap penting. Sekali pun, biasanya, aku sering diperlakukan tak adil oleh orangorang disekitarku. Aku tak dilayani selayaknya tatkala aku datang dengan membawa halhal yang tak penting bagi mereka. Ah, aku bukan mereka. Dan aku tak harus meniru mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan mereka bisa saja menjadi kekuranganku ketika aku memaksakannya berada padaku. Dan toh, ini juga bukan rumahku. Siapa tahu, dia ada perlu sama Radi atau Helmi.

Kubuka pintu rumah temanku itu. Aku memberinya seulas senyum. Entah. Aku selalu begitu kalau bertemu dengan orangorang tanpa terkecuali. Sudah menjadi reflek. Sekali pun aku pernah tahu bahwa agamaku mengajarkan hal itu. Dan terkadang ada sebentuk harap di balik senyumku, aku ingin dia dan siapa pun juga, menjadi bahagia saat bertemu denganku. Dan lagi, aku sering merasakan gundah dan gelisah sedikit menghilang. Ada rasa lega saat senyum itu kulepas. Apakah itu memang kekuatan senyum? Makanya, agama pun menganjurkan. Entahlah.

Tapi, tamu itu tak membalas senyumku. Apakah dia tak senang menikmati senyumku? Ah, biarlah. Tak usah kupikir tentang dia yang senang atau tidak dengan senyumku. Bukankah itu hak dia untuk tidak senang dan senang menerima pemberian siapapun. Apalagi tatkala dia sedang tak membutuhkannya. Dia malah menatapku lekatlekat setelah mengucapkan salam. Aku jadi salah tingkah dibuatnya. Juga jadi sebab penasaran merundungku.

“Silahkan masuk.” Aku pecah kesunyian anatara aku dan tamu itu. Aku ingin mengalihkan tatapannya yang sangat berani itu. Aku merasa aneh. Dia tak merasa kikuk atau kaget. Dia malah melenggang masuk. Itu saja. Dan duduk. Aku pun duduk menghadapinya karena cuma aku di rumah itu. Yang lain sedang keluar. Entah kemana. Tadi, saat aku datang, Radi hanya bilang mau keluar tanpa memberi penjelasan. Dan aku tak tanya lebih lanjut karena dia memang selalu begitu.

“Maaf. Aku mungkin udah ngebuat kamu bingung.” Tamu itu membuka mulut dengan matanya yang terus lekat seakan terpikat dan terikat oleh pandanganku yang biasabiasa saja menututku.

“Owh … nggak apaapa, Mas.” Aku mencoba untuk bersikap maklum agar tak ada perasaan tak enak mendera tamuku itu. Dan aku tak bisa membiarkannya saja. Aku harus bisa bersikap wajar dalam menghadapi tamu. Sekali pun aku sekarang sebenarnya sedang suntuk karena otakku tak mau diajak menulis.

“Ingin bertemu siapa, Mas?” Tanyaku sebagai basabasi dalam kikukku meladeni pandangan matanya yang tak mau pergi dari mataku.

“Aku memang sengaja datang ke rumah ini karena aku tak mengenal penghuninya. Tapi, ini jangan dibahas dulu. Aku masih ingin menjelaskan sikapku tadi yang telah membuatmu sedikit gelisah dan mungkin kamu dirundung oleh tanya yang berdatangan disebabkan ulahku. Pertama, aku tak ngebalas senyummu. Dan kedua, aku telah membuat kamu salah tingkah dengan pandangan mataku yang seakan menghakimimu. Untuk yang pertama, aku memang sedang nggak bisa senyum. Aku sedang dirundung pilu. Pilu itu begitu sakit kurasa sehingga menghalangi senyumku untuk senyummu. Juga untukmu. Karena biasanya saya tersenyum tanpa menunggu orang lain melempar senyumnya.

“Dan aku, tadi, kaget saat melihat matamu. Matamu bersinar ketulusan. Juga indah. Enak dipandang. Mungkin kamu sedang kurang melihat halhal yang dilarang agama. Atau kamu sering berwudlu sehingga airnya meninggalkan sinar hakikat cinta. Tapi, entahlah jika kamu tak melakukan semua itu. Itu hanya kata guruku dulu sewaktu saya sekolah di Aliyah. Guru Hadistku itu pernah bilang begitu tanpa menguatkannya dengan argumentasi Hadist atau Quran. Ini apologiku untuk yang kedua. Dan, mungkin, dengan keteranganku ini hatimu mendapat kelegaan.

“Oya, dengan alasan yang pertama itu aku datang kemari. Aku ingin menghilangkan gundah hatiku dengan sekedar bercerita pada orangorang yang tak kukenal. Menurutku, ngobrol dengan orang tak dikenal itu lebih asyik. Karena aku akan bebas lepas tanpa dicengkeram rasa canggung dan malu. Sebenarnya aku tahu untuk menghilangkan rasa gelisah itu dengan mendekatkan diri pada Tuhan. Tapi, aku gagal. Mungkin aku masih belum mencintaNya secara tulus. Dalam mengerjakan perintahNya masih seringkali hanya mengerjakan sebatas menghilangkan kewajiban dengan sepi dari kekhusyukan dan menikmati detikdetik saat bersama denganNya.

“Maaf, dari tadi aku banyak omong.”

“Owh … gak apaapa, Mas.” Jawabku setelah sekian lama hanya bisa melongo dan bengong saja mendengarkan penjelasannya yang panjang lebar. Tak kusangka dan tak kuduga akan bertemu dengan tamu seperti ini. Awalnya bersikap aneh. Sekarang bicara panjang lebar tanpa bisa dihentikan. Dan bicaranya sangat sopan dan teratur. Sungguh hari ini aku sedang menemukan hal yang sangat luar biasa. Itu bagiku. Entah orang lain. Bisa saja sependapat denganku atau tidak.

“Tadi, Mas bilang kalau mataku indah. Eh, kalau boleh tahu namanya siapa, Mas?”

“Maaf. Sekali lagi aku hanya bisa bilang maaf. Karena kedatangan saya kemari hanya untuk menceritakan kegundahan hati pada orang yang tak kukenal, aku tak bisa menyebutkan namaku. Dan kalau kamu memang tak berkenan ngobrol dengan orang seperti aku, aku pun bisa pamit sekarang juga. Dan sekali lagi saya hanya bisa ucapkan maaf telah mengganggu waktumu.”

“Owh … gak apaapa, Mas kalau memang seperti itu adanya. Saya nggak bisa memaksa. Dan saya punya banyak waktu untuk mendengarkan kisah, Mas. Ini jujur. Bukan karena perasaan nggak enak. Karena saya memang tipe orangnya senang mendengarkan curhat temanteman. Dan temantemanku ratarata senang curhat sama aku.”

“Sudah kuduga dan kesimpulanku dari pancaran matamu berarti tak salah dan tak berlebihan. Kamu memang orangnya tulus.”

“Mas ini dari tadi hanya memuji melulu. Sebenarnya mau cerita apa, Mas?”

Dia menengadah ke langit rumah temanku seakan mengingat hal yang membuatnya resah. Aku mengikuti geraknya kemana pun menuju. Dan sekarang aku gagal membuntutinya saat pandangan beratnya jatuh ke mukaku. Dia seperti tadi lagi. Menatap lekatlekat mataku. Dan bibirnya mulai bergerak merajut kata memulai cerita dengan tanpa melepas mataku.

“Aku sedang “sakit jiwa”. Prilakuku tak normal seperti orang biasanya. Aku tak betah di rumah sebagaimana temantemanku. Aku pernah mencoba seharisemalem di rumah dengan mambaca bukubuku kesukaanku. Kamu tahu? Aku menangis saat itu. Jiwaku merintih mengajakku jalanjalan kemana aja. Yang penting jalan. Jadi, kalau saya lagi main ke rumah temen dan pamit mau pulang, dia tanya seperti ini “mo pulang ke rumahnya siapa lagi, Mas?” tanyanya padaku. Karena mereka tahu kalo aku nggak akan pulang ke rumah saya sendiri.

Bibirnya mematung. Dia sedikit menghela nafas. Dan aku masih harus terus melayani tatapan matanya yang begitu lekat menikmati mataku yang indah menurutnya. Yang bercahayakan ketulusan cinta hakikat, juga menurutnya.

“Itulah yang membuat jiwaku resah. Aku jadi bertanyatanya pada diriku sendiri kenapa aku harus seperti ini. Tapi, aku tak menemukan jawabnya. Aku jadi pusing mikirin gimana caranya agar aku bisa ngerubah prilakuku ini. Nama sampyan siapa, Mas?”

“Aku Rudi, Mas.”

“Iya, mas Rudi. Karena aku udah selesai bercerita, aku pamit dulu. Terima kasih karena mas Rudi telah sudi mendengarkan resahku yang, mungkin, nggak bermutu menurutmu.” Dia beranjak dari duduknya. Mengulurkan tangan. Tapi, aku acuhkan dengan menatapnya bingung. Dan dia pun menggapai tanganku. Aku membiarkan dan mengantarkannya sampai ke pintu. Dia mengucapkan salam dan menghilang menembus malam.

Aku masih termangu di pintu rumah temanku.

“Tut … tut … tut.” Sms menyelinap di inbox Hpku. “Rud, aku gak bisa pulng. Malas. Udh malam lg. Km di rumh aja ya.” “Hmm …” Radi ternyata mau nginap. Entah di rumah siapa.

***

Aku kembali ke tempat semula. Depan komputer temanku. Ah, ternyata otakku masih buntu. “Atau aku nulis kisah orang barusan itu. Orang misterius bin aneh. Mau curhat saja harus ke orang yang tak dikenalnya. Untung ketemu sama orang seperti saya. Orang yang sangat mengedepan kepentingan orang lain. Hmm … sombongku kumat lagi”

Kuikuti usul batin barusan. Jemariku mengetik cepat seperti mentari mencakar kulitkulit permukaan bumi dengan panasnya. Atau seperti tusukantusukan kukukuku dingin pada musim dingin yang menembus lapisan bajuku walau tiga “berakhiran” jaket “berbumbu” bulubulu. Entah bulu apa. Dia tak kelihatan. Juga tak sempat tanya waktu dulu membelinya di sebuah toko pasar luak.

Tulisanku mengalir deras. Baru kali ini aku menulis dari kisah nyata. Bagiku, menulis cerpen kisah nyata itu tak kreatif. Letak kreatifitasnya dimana coba? Hanya menyalin. Tapi, aku pernah membaca sebuah buku panduan tentang kepenulisan. Dalam buku itu dipaparkan penulispenulis terkenal sekaligus sebagian kecil tulisannya. Sekali lagi, dalam buku itu aku temukan penulis terkenal bernama … ah, aku lupa. Dan yang aku ingat, bahwa dia sering menulis dari kisah nyata yang dirubah menjadi fiktif. Biasanya yang dia rubah adalah konflik dan setting.

Ya! Biarlah malam ini aku menulis kisah nyata itu. Akan kuikuti cara penulis terkenal yang kulupakan namanya itu.

Kini aku sibuk menghapus tulisan yang baru kutulis itu. Hanya masih dua lembar. Font 12. Dan spasi 1,5. Sebenarnya ada rasa sayang menelikung. Tapi, biarlah. Bukankah itu hanya salinan. Bukan hasil imajinasi yang menyerpih di jalanjalan berdebu. Atau pada angin malam. Atau dalam sepi. Juga dalam gelaktawa keramaian di antara guyonan temanteman.

Aku rubah kisah tamuku yang barusan pulang. Aku menjadikannya fiktif. Terang saja, aku tak benarbenar merubahnya. Hanya menambahkan. Bukankah dia tadi belum menemukan jalan keluarnya? Nah, dalam tulisanku itu, aku ceritakan kalau dia sudah menemukan solusi. Dan dia pun menjadi betah menikmati rumahnya sendiri. Tidak lagi seperti angin yang menyemilir. Bukan lagi air yang terus mengalir mengikuti kelok sungai.

Dia kukisahkan sebagai burung Camar yang terbang tinggi, tapi pasti kembali ke pinggir laut yang membiru. Kembali menikmati hidangan Tuhan yang berserakan di antara pinggiranpinggiran pantai. Camar itu tersenyum. Sesekali menengadah ke hamparan langit luas yang juga membiru seperti hamparan laut. Seakan mengabari langit “Di pantai ini aku mengingatmu. Saat aku bermain denganmu, aku mengenang pantai tempat asalku mendatangimu.”

Si tamu yang sangat senang menatap mataku itu kini menikah. Pernikahan itulah yang telah merubahnya. Seakan mengikat dalam tenang. Karena dia sudah menikmati rumahnya yang berpayung rumah tangga. Dia tak lagi menangis. Malah senyum terukir manis.

Kini, aku sudah selesai menulis cerpenku. Aku termenung di depan komputer temanku itu. Melihat dan mengoreksi hasil tulisanku itu. Sebenarnya aku salah. Karena menurut temanku yang sudah jago menulis, “setelah kau selesai menulis, simpan dulu. Harus diinkubasi. Jangan langsung diedit.” Katanya yang kuikuti dengan anggukan kepalaku yang seakan patuh.

Biasanya aku memang patuh. Tapi, tidak untuk sekarang. Maafkan aku, teman. Sekarang aku sangat butuh uang. Aku akan segera mengirimkan ke media cetak. Dan itu tak butuh waktu untuk menunggu lagi. Karena aku benarbenar butuh uang.

Kulanjutkan editanku. Kubenahi tanda baca yang salah di sanasini. Kadang aku memicingkan mataku. Kadang aku tersenyum menikmati katakataku yang kurasa lucu. “Ah, tulisanku. Semoga kau diterima oleh media cetak. Dan kalau itu terjadi, berarti Tuhan telah mengirimmu menjadi penolongku. Penolong dompetku yang lagi sakit kanker, kantong kering kata temanku.” Batinku berbisik. Mengingat Tuhan dengan semangat menggebu saat menerima kurnianya.

Dan malam ini aku bisa menulis walau sebenarnya otakku sedang buntu. Aku bisa menulis karena tamu misterius itu. Yang jelas ini juga adalah anugerah Tuhan. Salah satu caranya untuk menolongku. Unutk memberi rezeki padaku. “Ah, Tuhanku selalu banyak cara. Ah, Tuhanku selalu hadir pada hambaNya yang mau berusaha. Oh, Tuhan, terima kasih. Semoga aku selalu bersyukur saat menerima rizkimu. Dan sabar dalam cobaMu. Amin.”
 
http://www.anekaremaja.com/2012/01/cerpen-pendidikan-2012-akhirnya-aku.html
Cara Menghilangkan Bekas jerawat Alami, Adalah hal yang sangat-sangat Menjadi dilema Bagi Anak-anak muda Jika mereka mempunyai masalah pada bekas Jerawatnya,Namun sebelum itu Ada baiknya jika anda membaca Dahulu artikel Tentang jerawat lainya yang pernah ilmuini share Yakni
jika anda tidak menggaruk pada jerawat atau memencetnya, jerawat tidak akan meninggalkan bekas berupa lubang atau bopeng yang mendalam.
Cara Menghilangkan Bekas jerawat yang Paling yang paling Ampuh ialah dengan memaksa tumbuh lapisan kulit wajah yang baru. Untuk itu diperlukan dermabrasi atau teknik laser. Dan kebetulan terdapat sejumlah produk di pasaran yang di peruntukan untuk menumbuhkan kulit baru ini.
Namun bagaimana Jika kita Tidak mempunyai Uang yang banyak untuk melakukan dermabrasi,Apakah tidak ada Solusi lain?
Lalu Jika Kita mempunyai Uang lebih Bagai mana jika Ada Efek sapingnya?
Bukankah cara yang Paling Sedikit Efek sampingnya Adalah cara yang alami.
Memang Cara Menghilangkan Bekas jerawat Alami Memakan sedikit Waktu lebih lama dibanding anda Melakukannya dengan Teknik Leser.namaun Kebanyankan Orang memilih yang alami,termasuk saya :)
Berikut Ini 4 Cara Menghilangkan Bekas jerawat Alami Mengatasi Jerawat :
  • Lidah BuayaAmbil jel nya dan oleskan di wajah. Buat jus dan minum sehari sekali.
  • Jus Lemon
    Peras lemon, oleskan di wajah 2x sehari. Minum jus lemon sehari sekali.
  • Madu
    Campur madu dan susu, lalu oleskan di wajah dua kali sehari.
  • Air putih
    Minum banyak air putih setiap hari.
Demikian Artikel Cara Menghilangkan Bekas jerawat Alami semoga membantu,silahkan Anda klik plus google dibawah jika menurut anda artikel Cara Menghilangkan Bekas jerawat Alami ini Pantas Mendapatkanya,Terima kasih
http://www.ilmuini.com/2011/08/cara-menghilangkan-bekas-jerawat-alami.html
 

Indonesian Culture

Culture of Indonesia

From Wikipedia, the free encyclopedia
Jump to: navigation, search

Indonesian children dress in various traditional costumes.
The Culture of Indonesia has been shaped by long interaction between original indigenous customs and multiple foreign influences. Indonesia is central along ancient trading routes between the Far East and the Middle East, resulting in many cultural practices being strongly influenced by a multitude of religions, including Hinduism, Buddhism, Confucianism and Islam, all strong in the major trading cities. The result is a complex cultural mixture very different from the original indigenous cultures.
Examples of cultural fusion include the fusion of Islam with Hindu in Javanese Abangan belief, the fusion of Hinduism, Buddhism and animism in Bodha, and the fusion of Hinduism and animism in Kaharingan; others could be cited.
Indonesian art-forms express this cultural mix. Wayang, traditional theater-performed puppet shows, were a medium in the spread of Hinduism and Islam amongst Javan villagers. Both Javanese and Balinese dances have stories about ancient Buddhist and Hindu kingdoms, while Islamic art forms and architecture are present in Sumatra, especially in the Minangkabau and Aceh regions. Traditional art, music and sport are combined in a martial art form called Pencak Silat.
Western culture has greatly influenced Indonesia in modern entertainment such as television shows, film and music, as well as political system and issues. India has notably influenced Indonesian songs and movies. A popular type of song is the Indian-rhythmical dangdut, which is often mixed with Arab and Malay folk music.
Despite the influences of foreign culture, some remote Indonesian regions still preserve uniquely indigenous culture. Indigenous ethnic groups Mentawai, Asmat, Dani, Dayak, Toraja and many others are still practicing their ethnic rituals, customs and wearing traditional clothes.

Traditional performing arts

Music

Indonesia is home to various styles of music, with those from the islands of Java, Sumatra and Bali being frequently recorded. The traditional music of central and East Java and Bali is the gamelan.
On June 29, 1965, Koes Plus, a leading Indonesian pop group in the 1960s, 70s and 80s, was imprisoned in Glodok, West Jakarta, for playing Western-style music. After the resignation of President Sukarno, the law was rescinded, and in the 1970s the Glodok prison was dismantled and replaced with a large shopping mall.
Kroncong is a musical genre that uses guitars and ukuleles as the main musical instruments. This genre had its roots in Portugal and was introduced by Portuguese traders in the 15th century. There is a traditional Keroncong Tugu music group in North Jakarta and other traditional Keroncong music groups in Maluku, with strong Portuguese influences. This music genre was popular in the first half of the 12th century; a contemporary form of Kroncong is called Pop Kroncong.
Angklung musical orchestra, native of West Java, received international recognition as UNESCO has listed the traditional West Java musical instrument made from bamboo in the list of intangible cultural heritage.[1][2]
The soft Sasando music from the province of East Nusa Tenggara in West Timor is completely different. Sasando uses an instrument made from a split leaf of the Lontar palm (Borassus flabellifer), which bears some resemblance to a harp.

  Dance


Balinese topeng dance drama.
Indonesian dance reflects the diversity of culture from ethnic groups that composed the nation of Indonesia. Austronesian roots and Melanesian tribal dance forms are visible, and influences ranging from neighboring Asian countries; such as India, China, and Middle East to European western styles through colonization. Each ethnic group has their own distinct dances; makes total dances in Indonesia are more than 3000 Indonesian original dances. However, the dances of Indonesia can be divided into three eras; the Prehistoric Era, the Hindu/Buddhist Era and the Era of Islam, and into two genres; court dance and folk dance.
There is a continuum in the traditional dances depicting episodes from the Ramayana and Mahabharata from India, ranging through Thailand, all the way to Bali. There is a marked difference, though, between the highly stylized dances of the courts of Yogyakarta and Surakarta and their popular variations. While the court dances are promoted and even performed internationally, the popular forms of dance art and drama must largely be discovered locally.
During the last few years, Saman from Nanggroe Aceh Darussalam has become rather popular and is often portrayed on TV. Reog Ponorogo is also a dance that originated from the district Ponorogo, East Java, which is a visualization of the legendary story Wengker kingdom and the kingdom of Kediri.
A popular line dance called Poco-poco was originated in Indonesia and also popular in Malaysia, but at early April 2011 Malaysian Islamic clerics ban poco-poco dance for Muslims due to they believe it is traditionally a Christian dance and that its steps make the sign of the cross.[3]

Drama and theatre


Wayang kulit performance.
Wayang, the Javanese, Sundanese, and Balinese shadow puppet theatre shows display several mythological legends such as Ramayana and Mahabharata, and many more. Wayang Orang is Javanese traditional dance drama based on wayang stories. Various Balinese dance drama also can be included within traditional form of Indonesian drama. Another form of local drama is Javanese Ludruk and Ketoprak, Sundanese Sandiwara, and Betawi Lenong. All of these drama incorporated humor and jest, often involving audiences in their performance.
Randai is a folk theatre tradition of the Minangkabau people of West Sumatra, usually performed for traditional ceremonies and festivals. It incorporates music, singing, dance, drama and the silat martial art, with performances often based on semi-historical Minangkabau legends and love story.
Modern performing art also developed in Indonesia with their distinct style of drama. Notable theatre, dance, and drama troupe such as Teater Koma are gain popularity in Indonesia as their drama often portray social and political satire of Indonesian society.

Martial Art


Pencak Silat demonstration in Jakarta.
The art of silat was created and firstly developed in the islands of Java and Sumatra. It is an art for survival and practiced throughout Indonesian archipelago. Centuries of tribal wars in Indonesian history had shaped silat as it was used by the ancient warriors of Indonesia. Silat was used to determine the rank and position in old Indonesian kingdoms.
Contacts with Indians and Chinese was further enriched silat. Silat reached areas beyond Indonesia mainly through diaspora of Indonesian people. People from various regions like Aceh, Minangkabau, Riau, Bugis, Makassar, Java, Banjar, etc. moved into and settled in Malay Peninsula and other islands. They brought silat and passed it down to their descendants. The Indonesian of half-Dutch descent are also credited as the first to brought the art into Europe.
Silat was used by Indonesian freedom fighters during their struggle against the Dutch colonists. Unfortunately after Indonesia achieving their independence, silat became less popular among Indonesian youth compare to foreign martial arts like Karate and Taekwondo. This probably because silat was not taught openly and only passed down among blood relatives, the other reason is the lack of media portrayal of the art.
Efforts have been made in recent years to introduce and reintroduce the beauty of silat to Indonesian youth and the world. Exhibitions and promotions by individuals as well as state-sponsored groups helped the growing of silat's popularity, particularly in Europe and United States. Indonesian 2009 Silat movie Merantau is one of Indonesian efforts to introduce silat to international scene.
Another martial art from Indonesia is Tarung Derajat. It is a modern combat system created by Haji Ahmad Drajat based on his experience as a street fighter. Tarung Drajat has been acknowledge as a national sport by KONI in 1998 and is now using by Indonesian Army as part of their basic training.

  Traditional visual arts

  Painting


Kenyah mural painting in Long Nawang, East Kalimantan.
What Indonesian painting before the 19th century are mostly restricted to the decorative arts, considered to be a religious and spiritual activity, comparable to the pre-1400 European art. Artists name are anonymous, since the individual human creator was seen as far less important than their creation to honor the deities or spirits. Some examples are the Kenyah decorative art, based on endemic natural motifs such as ferns and hornbills, found decorating the walls of Kenyah long houses. Other notable traditional art is the geometric Toraja wood carvings. Balinese painting are initially the narative images to depict scenes of Balinese legends and religious scripts. The classical Balinese paintings are often decorating the lontar manuscripts and also the ceilings of temples pavilion.


Hunt by Raden Saleh.

Balinese painting by I Ketut Ginarsa.
Under the influence of the Dutch colonial power, a trend toward Western-style painting emerged in the 19th century. In the Netherlands, the term "Indonesian Painting" is applied to the paintings produced by Dutch or other foreign artists who lived and worked in the former Netherlands-Indies. The most famous indigenous 19th century Indonesian painter is Raden Saleh (1807–1877), the first indigenous artist to study in Europe. His art is heavily influenced by Romanticism.[4] In 1920's Walter Spies began to settled in Bali, he is often credited with attracting the attention of Western cultural figures to Balinese culture and art. His works has somehow influenced Balinese artists and painters. Today Bali has one of the most vivid and richest painting tradition in Indonesia.
The 1920s to 1940s were a time of growing nationalism in Indonesia. The previous period of romanticism movement was not seen as a purely Indonesian movement and did not developed. Painters began to see the natural world for inspiration. Some examples of Indonesian painter during this period are the Balinese Ida Bagus Made and the realist Basuki Abdullah. The Indonesian Painters Association (Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia or PERSAGI, 1938–1942) was formed during this period. PERSAGI established a contemporary art philosophy that saw art works as reflections of the artist’s individual or personal view as well as an expression of national cultural thoughts.
From the 1940s on, artists started to mix Western techniques with Southeast Asian imagery and content. Painters that rooted in the revolutionary movement of the World War and the post-World War period started to appear during this period, such as Sudjojono, Affandi, and Hendra.[5]
During the 1960s, new elements were added when abstract expressionism and Islamic art began to be absorbed by the art community. Also during this period, group of painters that are more concerned about the reality of Indonesian society began to appear, taking inspiration from the social problem such as division between the rich and the poor, pollution, and deforestation. The national identity of Indonesia was stressed by these painters through the use of a realistic, documentary style. During the Sukarno period this socially-engaged art was officially promoted, but after 1965 it lost popularity due to its presumed communist tendencies.[6]
Three art academies offer extensive formal training in visual art: Bandung Institute of Technology founded in 1947; the Akademi Seni Rupa Indonesia (Indonesian Fine Arts Academy) or ASRI, now known as ISI, in Yogyakarta was inaugurated in 1950; and the Institut Kesenian Jakarta (Jakarta Arts Institute) or IKJ, was opened in 1970.

Sculpture


Relief sculpture from Borobudur temple.
Indonesia has a long history of stone, bronze and iron ages arts. The megalithic sculptures can be found in numerous archaeological sites in Sumatra, Java to Sulawesi. The native Indonesians tribes have their own distinct tribal sculpture styles, usually created to depict ancestors, deities and animals. The pre-Hindu-Budhist and pre-Islamic sculptures can be traced in the artworks of indigenous Indonesian tribes. The most notable sculptures are those of Asmat wooden sculpture of Papua, the Dayak wooden mask and sculpture, the ancestral wooden statue of Toraja, also the totem-like sculpture of Batak and Nias tribe.
The stone sculpture artform particularly flourished in the eighth to tenth centuries Java and Bali, which demonstrate the influences of Hindu-Buddhist culture, both as stand-alone works of art and also incorporated into temples. Most notable sculpture of classical Hindu-Buddhist era of Indonesia are the hundreds of meters of relief and hundreds of stone buddhas at the temple of Borobudur in central Java. Approximately two miles of exquisite relief sculpture tell the story of the life of Buddha and illustrate his teachings. The temple was originally home to 504 statues of the seated Buddha. This site, as with others in central Java, show a clear Indian influence. The examples of notable Indonesian Hindu-Buddhist sculptures are; the statues of Hindu deities; Shiva, Vishnu, Brahma, Durga, Ganesha and Agastya enthroned in rooms of Prambanan temples, the Vishnu mounting Garuda statue of king Airlangga, the exquisite statue of Eastern Javanese Prajnaparamita and 3.7 meters tall Dvarapala dated from Singhasari period, and also the grand statue of Bhairava Adityawarman discovered in Sumatra. Today, the Hindu-Buddhist style stone sculptures are reproduced in villages in Muntilan near Borobudur also in Bali, and sold as garden or pool ornament statues for homes, offices and hotels.
Today in Indonesia, the richest, most elaborate and vivid wooden sculpture and wood carving traditions can be found in Bali and Jepara, Central Java. Balinese handicrafts such as sculptures, masks, and other carving artworks are popular souvenir for tourist that have visited Indonesia. On the other hand the Jepara wood carving are famous for its elaborately carved wooden furnitures, folding screens also pelaminan gebyok (wedding throne with carved background).

 Architecture


Minangkabau Rumah Gadang
For centuries, the most dominant influences on Indonesian architecture were Indian, although European influences have been particularly strong since the nineteenth century and modern architecture in Indonesia is international in scope.
As in much of South East Asia, traditional buildings in Indonesia are built on stilts, with the significant exceptions of Java and Bali. Notable stilt houses are those of the Dayak people in Borneo, the Rumah Gadang of the Minangkabau people in western Sumatra, the Batak people in northern Sumatra, and the Tongkonan of the Toraja people in Sulawesi. Oversized saddle roofs with large eaves, such as the homes of the Batak and the tongkonan of Toraja, are often bigger than the house they shelter. The fronts of Torajan houses are frequently decorated with buffalo horns, stacked one above another, as an indication of status. The outside walls also frequently feature decorative reliefs.
The eighth-century Borobudur temple near Yogyakarta is the largest Buddhist temple in the world, and is notable for incorporating about 160 relief panels into its structure, telling the story of the life of the Buddha. As the visitor ascends through the eight levels of the temple, the story unfolds, the final three levels simply containing stupas and statues of the Buddha. The building is said to incorporate a map of the Buddhist cosmos and is a masterful fusion of the didactic, the monumental and the serene.
The nearby ninth-century temple complex at Prambanan contains some of the best preserved examples of Hindu temple architecture in Java. The temple complex comprises eight main shrines, surrounded by 250 smaller shrines. The Indian influence on the site is clear, not only in the style of the monument, but also in the reliefs featuring scenes from the Ramayana which adorn the outer walls of the main temples, and in the votive statuary found within.

Crafts


Hand drawn batik making
Several Indonesian islands are famous for their batik, ikat and songket cloth. Once on the brink of disappearing, batik and later ikat found a new lease of life when former President Suharto promoted wearing batik shirts on official occasions. In addition to the traditional patterns with their special meanings, used for particular occasions, batik designs have become creative and diverse over the last few years.
Other worldwide famous Indonesian crafts are Jepara wood carving[7] and Kris. In 2005, UNESCO recognized Kris as one of Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity from Indonesia.[8]

Literature

Pramoedya Ananta Toer was Indonesia's most internationally celebrated author, having won the Magsaysay Award as well as being considered for the Nobel Prize in Literature. Other important figures include the late Chairil Anwar, a poet and member of the "Generation 45" group of authors who were active in the Indonesian independence movement. Tight information controls during Suharto's presidency suppressed new writing, especially because of its ability to agitate for social reform.
In the book Max Havelaar, Dutch author Multatuli criticised the Dutch treatment of the Indonesians, which gained him international attention.
Modern Indonesian authors include Seno Gumira Adjidarma, Andrea Hirata, Habiburrahman El Shirazy, Ayu Utami, Gus tf Sakai, Eka Kurniawan, Ratih Kumala, Dee, Oka Rusmini. Some of their works have translated into other languages.
Poetry
There is a long tradition in Indonesia, particularly among ethnically Malay populations, of extemporary, interactive, oral composition of poetry. These poems are referred to as pantun. Contemporary Indonesian poets include among others, Sutardji Calzoum Bachri, Rendra, Taufiq Ismail, Afrizal Malna,[9] Binhad Nurrohmat, Joko Pinurbo, Sapardi Djoko Damono.

Recreation and sports


The rattan ball used in Sepak Takraw.
Many traditional games are still preserved and popular in Indonesia, although western culture has influenced some parts of them. Among three hundred officially recognized Indonesian cultures, there are many kinds of traditional games: cockfighting in Bali, annual bull races in Madura, and stone jumping in Nias. Stone jumping involves leaping over a stone wall about up to 1.5 m high and was originally used to train warriors. Pencak Silat is another popular form of sport, which was influenced by Asian culture as a whole. Another form of national sport is sepak takraw.[10] The rules are similar to volleyball: to keep the rattan ball in the air with the players' feet.
Popular modern sports in Indonesia played at the international level include association football and badminton. Indonesian badminton athletes have played in Indonesia Open Badminton Championship, All England Open Badminton Championships and many international events, including the Summer Olympics since badminton was made an Olympic sport in 1992. Rudy Hartono is a legendary Indonesian badminton player, who won All England titles seven times in a row (1968 through 1974). Indonesian teams have won the Thomas Cup (men's world team championship) thirteen of the twenty-two times that it has been contested since they entered the series in 1957.[11] In the hugely internationally popular sport of soccer (football), Indonesian teams have been active in the Asian Football Confederation (AFC).
Sporting events in Indonesia are organised by the Indonesian National Sport Committee (KONI). The Committee, along with the government of Indonesia, have set a National Sports Day on every September 9 with "Sports for All" as the motto. Indonesia has hosted the Southeast Asian Games four times, in 1979, 1987, 1997 and 2011, and won overall champion title in each of these years. As of 2011, Indonesia has won champion titles 10 times overall out of 18 SEA Games it has attended since debuted in 1977.

 Cuisine


Nasi goreng (fried rice), one of the most popular Indonesian dishes.

Soto and Satay, together with Nasi Goreng are considered as Indonesian national dish.
The cuisine of Indonesia has been influenced by Chinese culture and Indian culture, as well as by Western culture. However in return, Indonesian cuisine has also contributed to the cuisines of neighboring countries, notably Malaysia and Singapore, where Padang or Minangkabau cuisine from West Sumatra is very popular. Also Satay (Sate in Indonesian), which originated from Java, Madura, and Sumatra, has gained popularity as a street vendor food from Singapore to Thailand. In the fifteenth century, both the Portuguese and Arab traders arrived in Indonesia with the intention of trading for pepper and other spices. During the colonial era, immigrants from many different countries have arrived in Indonesia and brought different cultures as well as cuisines.
Most native Indonesians eat rice as the main dish, with a wide range of vegetables and meat as side dishes. However, in some parts of the country, such as Irian Jaya and Ambon, the majority of the people eat sago (a type of tapioca) and sweet potato.[12]
The most important aspect of modern Indonesia cuisine is that food must be halal, conforming to Islamic food laws. Haraam, the opposite of halal, includes pork and alcoholic drinks. However, in some regions where there is significant non-Muslim population, non-halal food are also commonly served.
Indonesian dishes are usually spicy, using a wide range of chili peppers and spices. The most popular dishes include nasi goreng (fried rice), Satay, Nasi Padang (a dish of Minangkabau) and soy-based dishes, such as tofu and tempe. A unique characteristic of some Indonesian food is the application of spicy peanut sauce in their dishes, as a dressing for Gado-gado or Karedok (Indonesian style salad), or for seasoning grilled chicken satay. Another unique aspect of Indonesian cuisine is using terasi or belacan, a pungent shrimp paste in dishes of sambal oelek (hot pungent chili sauce). The sprinkling of fried shallots also gives a unique crisp texture to some Indonesian dishes.
Chinese and Indian cultures have influenced the serving of food and the types of spices used. It is very common to find Chinese food in Indonesia such as Dim Sum as well as noodles, and Indian cuisine such as Tandoori chicken. In addition, Western culture has significantly contributed to the extensive range of dishes. However, the dishes have been transformed to suit Indonesian people's tastes. For example, steaks are usually served with rice. Popular fast foods such as Kentucky Fried Chicken are served with rice instead of bread, and sambal (spicy sauce) instead of ketchup. Some Indonesian foods have been adopted by the Dutch, like Indonesian rice table or 'rijsttafel'.

Popular media

 Cinema

The largest chain of cinemas in Indonesia is 21Cineplex, which has cinemas spread throughout twenty-four cities on the major islands of Indonesia. Many smaller independent cinemas also exist.
In the 1980s, the film industry in Indonesia was at its peak, and dominated the cinemas in Indonesia with movies that have retained a high reputation, such as Catatan Si Boy and Blok M and actors like Onky Alexander, Meriam Bellina, Nike Ardilla and Paramitha Rusady.[13] However, the film industry failed to continue its successes in the 1990s, when the number of movies produced decreased significantly, from 115 movies in 1990 to just 37 in 1993.[14] As a result, most movies produced in the '90s contained adult themes. In addition, movies from Hollywood and Hong Kong started to dominate Indonesian cinema. The industry started to recover in the late 1990s, with the rise of independent directors and many new movies produced, such as Garin Nugroho's Cinta dalam Sepotong Roti, Riri Riza and Mira Lesmana's Petualangan Sherina and Arisan! by Nia Dinata.[13] Another form of recovery is the re-establishment of the Indonesian Film Festival (FFI), inactive for twelve years, and the creation of the Jakarta International Film Festival. Daun di Atas Bantal (1998) received The Best Movie award in the 1998 Asia Pacific Film Festival in Taipei.[15]

 Television

 Radio

The state radio network Radio Republik Indonesia (RRI) was founded in 1945. It consists of a network of regional stations located in all thirty-three provinces of the archipelago. In most cities and large towns there are also many commercial stations. Since 2006, several digital radio stations have been based in Jakarta and Surabaya, using Digital Audio Broadcasting (DAB) and Hybrid HD-Radio.[16][17][18]

 Religion and philosophy

Islam is Indonesia's main religion, with almost 88% of Indonesians declared Muslim according to the 2000 census,[19] making Indonesia the most populous Muslim-majority nation in the world. The remaining population is 9% Christian (of which roughly two-thirds are Protestant with the remainder mainly Catholic, and a large minority Charismatic), 2% Hindu and 1% Buddhist.
http://en.wikipedia.org/wiki/Culture_of_Indonesia